Jangan salahkan aku.
Jangan salahkan aku jika akhirnya kamu menyesal dan tak bisa kembali. Aku hanya ikuti bisikan hati.
Semua nya proses. Sudah terjadi.
Dan sayang nya ini bukan suatu proses seperti reaksi bolak-balik dalam kesetimbangan kimia. Semuanya tak dapat berbalik.
Aku pernah bilang, ‘pikir dulu sebelum ngomong. Jaga mulut mu. Kalau perlu, sekolahin dulu, biar suatu saat kamu nggak perlu sibuk mengutuki dirimu’.
Tapi kayaknya, buatmu itu semua nggak lebih dari suara teriakan tukang bubur di pagi hari, atau alunan lincah nan menggoda dari sales penjual barang.
Sekarang, maumu apa?
Maaf?
Hey.. itu perkara mudah. Kamu bisa mendapatkan maaf ku dimana saja. Saat kamu berlari, saat kamu tidur, saat kamu mandi. Maaf ku ada dimana-mana, ada di udara sekitarmu, ada di kolong tempat tidur mu, di lemari bajumu, bahkan di sarang semut.. maafku ada dimana-mana.
Yang aku ingin kamu tau,
Bukan sok bijak. Bukan sok tua, apalagi sok jadi guru.
Tapi kadang, ada yang harus dilepas.
Ada yang harus di hempas.
Semua sudah berjalan. Ingat, proses tak kan di ulang kembali.
Pasrahkan dan serahkan semuanya.
Aku sudah lakukan sebisa ku.
Dan kamu, diam disana, renungkan, ceritakan semua pada langit yang akan mendengarmu.
Ambil semua maafku. Aku relakan semuanya untukmu.
Jadikan pelajaran.
Jangan kejar aku kemudian.
Kadang kala, cinta dan gila samar bedanya.

Curhat

by on December 25, 2008
Jangan salahkan aku. Jangan salahkan aku jika akhirnya kamu menyesal dan tak bisa kembali. Aku hanya ikuti bisikan hati. Semua nya proses....
Pertunjukkan yang indah,
Sangat menghibur.
Dimana tak ada seorang pun yang berkedip dan bergumam.
Sangat tenang, berbinar sinar menghanyutkan.
Standing applause selama 3 hari 3 malam.
Elu-eluan penonton tak habis-habisnya.
Sekarang, tutup dan mulai bersihkan panggung.
Lepas topeng, hapus make up, dan cepat pergi.

Sebenarnya aku ikut larut.
Sebenarnya aku juga mulai hanyut.
Ketika aku berada di puncak narasi,
Pertunjukkan selesai.

Bagaimana dengan tepukan meriah penonton?
Standing applause?

Pertunjukkan selesai
Tutup dan mulai bersihkan panggung
Lepas topeng, hapus make up, dan cepat pergi.

Sangat menghibur ..

sangat menghibur

by on December 17, 2008
Pertunjukkan yang indah, Sangat menghibur. Dimana tak ada seorang pun yang berkedip dan bergumam. Sangat tenang, berbinar sinar menghanyu...
Dari mana perubahan harus dimulai?
Kalo tangan dan kaki udah nggak mau gerak
Waktu badan serasa mau copot satu-satu
Dan asap mulai ngebul dari kepala ku
Pikir lagi coba
Dari mana harus dimulai?
Siapa yang mau mulai?
Dan yang paling susah..
Kapan mau dimulai?

Ini bukan cuma tentang aku, tapi tentang Bapak, Ibu, Adek, dan semua yang harus aku tanggung.
“Kita nggak lagi bicara tentang dia, juga nggak bicara tentang mereka. kita bicara tentang semuanya.. tentang besok..besok..besoknya besok..dan besoknya lagi”

Buzzzzz… semburan asep ngebul keluar lagi dari kepala ku.
Eh. Ini tulang-tulang malah ikut bunyi juga waktu aku mau ke kamar mandi! Kompak banget sich..

“Mbok.. Diem mulu sich.. Sekali-kali jawab lah. Nggak kasian apa sama aku? Sendirian. Kalo ngga ada kamu sama cemilan di rumah, aku bisa mati bosen kali..”
“Tapi aku juga sebel sama kamu, mbok! Diem mulu tiap aku ngomong!”

Mikir sebentar…
“Aku nyesel kemaren-kemaren kayaknya nyantai banget. Belajar nya nggak pake hatii! Cuma pake tangan ama secuil otak doang! Sambil tiduran lagii.. Coba deh pikir, pantesan aja nilai ku terjun bebas. Mana nggak pake parasut pula… wuah. Parah.”


“Waaaaaaaaaa!!!”
Mendadak ngejerit karena ada kecoa nyelonong lewat nggak pake permisi. (nggak sopan! Emang nggak pernah diajarin ortu nya apa?!!)

“Aku anak pertama. Ntar aku yang bakal gantiin Bapak, gantiin Ibu. Cari duit, buat beli beras, minyak, sayur, kangkung, telor..(apalagi yaaa?), buat sekolah adekku, bayar listrik, bayar air, bayar telpon, buat beli semua muanya (termasuk beng-beng, brownies bakar, ayam keju, chicken mushroom, pizza pake pinggiran superrr, coklat, omelet, rumah baru, mobil baru, motor baru, laptop baru, hp baru, baju baru, sepatu baru,... kalo pacar baru gmana yaa?? =P)… Ah. Pokonya tugas ku bakal berat. Tapi kenapa aku bisa nyantai-nyantai kayak gini? Kayak nggak bertanggung jawab diliatnya.. Ya nggak, mbok??”

Lagi-lagi Cuma diem…

“Heh, Mbok! Aku ini lagi ngomong sama kamu, loh! Nggak ada simpati-simpatinya sama sekali sich.. Datar-datar aja kamu..”

Brakkk! Pintu kamar ku ngebanting.. mungkin marah gara-gara ketiup angin...

“Aku emang cewe, kecil, item, belom jadi apa-apa, belajar juga setengah ati, tapi Mbok… kamu ingetin aku yaa.. AKU HARUS JADI SESUATU. Harus bisa ngebanggain keluarga, ngebanggain semua orang yang kenal aku. Aku harus jadi orang sukses. Yang nggak pernah masuk TV karena ikutan demo PHK.. aku nggak mau jadi yang kalah, mbok….”

“Zzzzzzzzz….”
Heh. Kurang ajar juga tuh cicak! Bisa-bisanya ngorok di tembok! Dikiranya aku ngedongeng kali yaa..


“Mbok, percaya aku kan?”
10 menit kemudian...
“Heh. Jawab dong! Diem mulu! Diajakin ngomong sama sekali nggak kasih komen! Dasar lu! Gila lu! Sarap lu!”

Sambil manyun…
“Belajar sopan santun, mbok! Kalo ada orang ngomong jangan diem aja! DASAR TEMBOK!!!”

Dan aku pergi….

Jadiii??

by on December 15, 2008
Dari mana perubahan harus dimulai? Kalo tangan dan kaki udah nggak mau gerak Waktu badan serasa mau copot satu-satu Dan asap mulai ngebul...
Maaf..
Maaf ketika aku harus jadi pecundang
Maaf ketika aku bahagia dalam fatamorgana
Maaf ketika aku larut dalam emosi.. atau sekedar simpati

Dan sekarang tak tau..
Mau jadi apa aku?
Lihat!!!

IYA... AKU MINTA MAAF!!!

Maaf.. Maaf..
Untuk kata yang terlalu cepat terucap,
Untuk kamu yang pura-pura mengerti
Untuk kamu yang jatuh tanpa bisa bangun lagi
Untuk kamu karena merasa terbunuh dan lepas sia-sia

Hey..
Bagaimana bila kau bunuh saja aku?

Berontak

by on December 14, 2008
Maaf.. Maaf ketika aku harus jadi pecundang Maaf ketika aku bahagia dalam fatamorgana Maaf ketika aku larut dalam emosi.. atau sekedar si...
Aku telah bernyanyi untukmu
Tapi kau tidak juga menari
Aku telah menangis di depan mu
Tapi kau tidak juga mengerti
Haruskah aku mengangis sambil bernyanyi?

*Lagu Gelombang – Kahlil Gibran

Lagu gelombang

by on December 14, 2008
Aku telah bernyanyi untukmu Tapi kau tidak juga menari Aku telah menangis di depan mu Tapi kau tidak juga mengerti Haruskah aku mengangi...
Aku ingin lepas dan berdiri sendiri.
Aku ingin terbang bersama kupu-kupu.. aku akan menjadi telur, ulat, kepompong, dan benar-benar menjadi kupu-kupu.. aku akan lalui metamorfosis sempurna ku.. hingga tak ada ragu ketika ku kembangkan sayapku.

Aku ingin berlari tanpa lelah. Berlari tanpa tahu dimana berakhirnya jalanan ku. Berlari tanpa peduli perihnya kakiku, berlari tanpa peduli panas teriknya matahari. Aku akan berlari dan terus berlari, hingga tak ada teriakan sekeras apapun yang dapat menghentikan ku.

Aku ingin berotasi bersama bumi. Berputar teratur, tak kenal waktu. Aku akan berjumpa dengan bintang, berkenalan dengan bulan, dan bercanda bersama matahari.. Aku akan ikut menjadi perisai dari kerasnya meteor. Aku akan memuaskan diri melihat seluruh bumi tanpa perlu pesawat ataupun kapal.

Aku ingin menjadi fluks. Fluks yang menembus batin mu dengan kecepatan cahaya. Tegak lurus, tanpa membentuk sudut selain 90 derajat, agar aku bisa tepat menembus batin dan jiwa mu.

Aku ingin menjadi udara. Aku akan menjadi bagian dari tiap nafasmu. Aku akan menjadi yang dibutuhkan oleh kamu. Aku akan keluar masuk tanpa permisi. Dan bukan tak mungkin, suatu saat aku akan mengamuk dan menghancurkan mu.

Aku inginnnnnnnnnnnnn……
Aku semua nya.. dan beribu lainnya….

semangat!

by on December 14, 2008
Aku ingin lepas dan berdiri sendiri. Aku ingin terbang bersama kupu-kupu.. aku akan menjadi telur, ulat, kepompong, dan benar-benar menjadi...
“Sekarang aku tau gimana rasanya sepi. Waktu nggak ada lagi jari yang ngisi sela di jari ku, waktu nggak lagi kritik pedas kalo aku curhat, dan waktu nggak ada lagi suara berisik orang yang nonton sepak bola di tengah malam. Yang ada sekarang cuma suara jangkrik.. krik..krik.. atau suara kukuk burung hantu kalau malam sudah makin gelap.”
“Semua ada waktunya, Key..”
Wanita itu bangun dari duduknya. Pergi ke dapur membuat secangkir kopi seperti yang selalu dilakukannya.
“Aku nggak habis pikir, kok bisa ya Subagja sialan itu berani nekat?”
“Namanya juga manusia, Key..”
Key kembali duduk sambil ‘menyeruput’ kopi panasnya.
“Rasanya pengen banget aku mutilasi dia.. Terus aku jadiin sate..”
“Ya tinggal di mutilasi aja, Key. Toh kamu juga bisa sekalian terkenal mendadak kan?”
“Iya sich.. Tapi rugi. Keenakan kayaknya kalo cuma di mutilasi! Ga sebanding sama sakitnya aku.”
“Key.. Key.. Nggak berubah ya kamu..”
Key diam, kali ini tanpa ‘menyeruput’ kopi panasnya.
Sahabatku yang satu ini nggak ada berubahnya sama sekali. Nggak bisa terima kalo ngerasa sakit. Tapi beban nya kali ini memang berat, sedikit miris dilihatnya.
“Sini, Vi! Temenin aku!”
Key sudah berbaring di atas rumput taman belakang waktu dia teriak memanggil aku.
“Kamu tahu, Vi? Aku bener-bener kangen. Kita yang selalu berantem buat nyiapin sarapan, kita yang ribut gara-gara sabun cair dan sabun batang, yang nggak pernah bisa kompak kalo main bakiak…”
Key menarik nafas panjang. Dan berusaha melanjutkan ceritanya,
“Selalu protes kalau aku nggak bangunin dia pagi-pagi. Teriak-teriak kalau dasi nya kusut, dia yang nggak mau makan kalo suapan pertama bukan aku yang nyuapin, nggak mau tidur kalo aku belum tidur…”
Suara Key semakin pelan. Aku tahu hatinya sedang penuh gejolak. Membendung luapan sedih yang di pendamnya sendiri. Aku biarkan dia menangis.
“Baru sebulan, Vi.. Baru sebulan aku ngerasain itu.. Dan sekarang semua nya udah nggak ada lagi…”
Pilu hatiku mendengar Key. Dia berbaring disebelahku, begitu dekat aku merasakan rintihannya. Tapi sama sekali aku nggak berani menatap dia.
“Key…”
“Aku nggak bisa ngebayangin, gimana sakitnya Mas Yoyo waktu itu. Terbakar di dalam mobilnya, terjebak, nggak bisa lari dan pergi.. Dia terbakar hidup-hidup, Vi!!”
Suara Key yang awalnya pelan mulai meninggi. Suara rapuh yang dipaksakan keluar untuk meringankan jeritan hati di dalam.
“Subagja sialan! Kurang ajar! Bisa-bisanya dia ngerencain hal itu buat bunuh suamiku! Apa urusannya dia sama Mas Yoyo?! Karena aku nolak dia dan nikah sama Mas Yoyo?! Karena dia dipecat gara-gara skandal sex nya kebongkar sama Mas Yoyo dan akhirnya dia kehilangan semua jabatannya?! Gitu?!! Arrrghhh! Setan!!”
“Dan sekarang, dia tetep bisa ketawa walaupun di penjara! Kayaknya dia bahagia banget. Atau jangan-jangan dia tikus? Makanya seneng banget bisa balik ke penjara sempit nya yang bau itu..?”
Sunyi. Tak ada satu kata pun yang melanjutkan kata-kata Key barusan.
“Dia puas, Vi! Dia Puas!!”
Tiba-tiba Key menjerit. Keras! Jeritan yang mampu merobek hati tiap orang yang mendengar. Jertitan emosi di balut luka yang mendalam. Key semakin tak terkendali.
Aku peluk erat tubuh ringkih Key. Tubuhnya gemetar. Nafasnya putus-putus.
Tak ada pertahanan sama sekali. Tubuhnya mulai melemah, tertarik oleh medan pilu batinnya yang tak tertolong .
Baru sebulan lalu aku hadir dan berfoto di acara pernikahan Key. Tapi sebelum ada koma, semuanya sudah diakhiri dengan titik. 3 hari lalu, Yoyo, suami Key, meninggal. Entah bagaimana ceritanya, mobil Yoyo terbakar ketika di perjalanan. Di tengah kepanikan dan sebelum sempat menyelamatkan diri, api sudah lebih dulu berkuasa.
Hal ini jelas direncanakan, karena setelah di selidik, banyak keganjilan di tangki bensin yang bocor dan mesin mobil yang akhirnya menimbulkan percikan api. Sehari setelahnya, tanpa penyangkalan dan pembelaan berbelit-belit, Subagja bersedia di tangkap.
Aneh kan?
“Key.. Relain semuanya.. Mas Yoyo udah dapetin tempat yang terbaik..”
Setengah jam kemudia, tangis Key reda. Bermata sembab, dia sempat tersenyum.
“Di hari ketika aku masih bisa ngeliat senyumnya, nyapa dia di pagi hari, saat dia masih bisa bercanda dan ketawa sama aku.. Sekarang dia pergi.. nggak akan kembali.”
Key mulai bisa mengendalikan dirinya. Dan kali ini, seorang Keyza Nirmala yang hampir tenggelam berusaha tegar dan berdiri di atas kepingan penyangga jiwa yang retak.
“Kalau dia sedih ngeliat aku nangis, aku akan hapus tangis ku, asalkan dia bahagia. Dan sekarang, ketika dia udah di sisi-Nya, aku pengen..dia bisa tetep tersenyum bahagia disana...”



“ Bilakah kau bersedih bila ku menagis, kan ku hapus tangis mu asalkan kau bahagia. Dan bilakah kini kau tlah disisinya.. ku harap disana kau tetap selalu tersenyum ceria…”
Ran – Lagu untuk Riri

i let u go

by on December 14, 2008
“Sekarang aku tau gimana rasanya sepi. Waktu nggak ada lagi jari yang ngisi sela di jari ku, waktu nggak lagi kritik pedas kalo aku curhat, ...
Aku sadar, aku tak bisa menghabiskan waktu ku.
Aku belajar tiap aku bernafas.
Banyak hal menanti di belakang.
Beri aku waktu.
Mungkin hanya butuh sedikit perhatian.
Kamu masih bagian dari tiap hal yang aku kerjakan.

untittle ah..

by on December 05, 2008
Aku sadar, aku tak bisa menghabiskan waktu ku. Aku belajar tiap aku bernafas. Banyak hal menanti di belakang. Beri aku waktu. Mungkin h...
“Permisi mas… permisi mbak…”
Uh. Manusia “setengah-setengah” itu mulai menyodorkan bungkus permen kosong nya selesai berkicau dengan ‘kecrekan’ kaleng yang bunyinya nggak jelas.
Banci ngamen bukan hal aneh di dalam bis kota seperti ini.
Tiba-tiba, “Kelas berapa, dek?”
“Saya Pak?” aku bertanya bingung pada seorang bapak tua yang duduk di sebelahku.
“Lha iya too.. kamu.”
“Oh. 3 SMA, Pak,” jawabku.
“Ooo.. Kamu itu kalo diliat-liat, ya mirip sama anakku di Solo. Seumuran mungkin yaa... Nduk, lha umur mu piro?”
“Umur? Memang kenapa, Pak?”
“Mbok ya di jawab, kok malah tanya lagi?”
“Ya saya kan mesti tau dulu, kenapa Bapak tanya umur saya. Gitu loh, Pak..”
“Gini loo.. lha bapak punya anak seumuran mu, tapi bapak lupa dia lahir tanggal berapa.. Lha kalo dia nanya lahir tanggal berapa, bapak bingung. Embuh, lali tanggal piro!” Jawab Bapak itu dengan logat jawa nya yang kental.
Aku hampir ngakak! Masa iya ada bapak yang nggak tau tanggal lahir anaknya? Hehehe.
“Ooo. Saya 16 tahun, Pak. Mungkin anak Bapak juga seumuran sama saya.”
“Iya ya.. mungkin juga. Jadi gini nduk, dari dulu dia selalu nanya lahir nya itu tanggal berapa. Lha tapi piye.. wong saya juga bingung dia lahir tanggal brapa.”
“Loh, terus sekolah nya gimana, Pak?”
“Dia ndak sekolah, mbantu ‘mamak’ nya kerja di pabrik kerupuk”
“Ooo…”
Siang bolong dan panas kaya gini, masalah manusia makin ada-ada aja. Aduh.. kok ada ya orang tua yang nggak tau kapan anaknya lahir??
“Dia minta tangga lahir. Piye yo?“
Wah. Bingung juga. Masa iya sih tanggal lahir bisa di bikin imitasi nya gara-gara yang asli ilang?
“Gini deh, Pak. Saya lahir 31 Desember 1991. Anak bapak kalo di liat-liat seumuran saya kan? Gampang.. Bapak pilih aja tanggal dan bulan yang bapak suka di tahun yang sama dengan tahun lahir saya.. Gimana, Pak?”
Usul yang aneh. Konyol. Tapi.. bolehlah buat bantu orang lain.
“Wah.. boleh nduk! Bagus nya tanggal berapa ya kira-kira?”
“21 April, Pak! Biar sama dengan R.A Kartini!”
Bapak itu berpikir sebentar, seperti mengingat sesuatu.
“Walah, ojo nduk! Elek tanggale. Tanggal 21 April kemarin sapi bapak ilang! Seng lianne.. yang lain..”
Hah? Aduh-aduh.. tanggal sapi ilang bisa inget, kok tanggal lahir anak bisa lupa? Sumpah. Aku tambah bingung!
“1 Januari deh, pak! Tahun Baru! Kan sekalian di rayain orang sedunia! Gimana, Pak?”
Bapak itu berpikir lagi.
“Lha wong 1 Januari itu tanggal meninggal mbah nya.. ndak sopan to yoo..”
“28 Oktober, 30 September, 10 November, atau 1 Maret? Ada yang cocok nggak, Pak?”
Semenit, dua menit, dan sudah hampir sepuluh menit bapak itu diam. Sekarang aku sudah ada di puncak nya bingung!
“Pak? Kok diem?””Bingung, nduk.””Lha bingung kenapa, Pak?”
“Ndak tau. Bingung mikirin Tri..”
“Tri? Siapa itu, Pak?”
“Yaa itu… Nama anak saya.. Tri Agustina namanya.”
Tri Agustina? Apa mungkin 3 Agustus?
“Dulu yang kasih nama itu bidan yang ngebantu lahirnya dia. Tapi ibu bidan nya itu sudah meninggal.. ngono..”
“Walah bapak... Bapak tau ndak to artine Tri Agustina??” Aku mengikuti logat jawa si Bapak.
“Opo to artine? Apa artinya?””Tri Agustina itu 3 Agustus , Bapaaakk…. Tri itu diambil dari Bahasa Inggris, artinya tiga. Agustina biasanya diambil dari nama bulan, Agustus. Ngono…”
“Oalah, nduk… ngono to? Jadi anakku itu lahirnya 3 Agustus?!”
“Kemungkinan besar sih gitu..”
“Oalah…..”
Bapak itu nggak berhenti bilang ‘oalaaahhh…’ sambil senyum sumringah. Seneng juga liatnya. Seneng bisa bantu mecahin masalah orang lain, walaupun masalahnya sedikit konyol.
Masalah emang nggak bisa di duga bentuk nya. Makin tua umur bumi, mungkin masalah yang jauh lebih bikin kita ngerutin dahi, bakal muncul lebih banyak. Hehe.
“Pak, saya turun duluan ya. Semoga anak Bapak seneng sama tanggal 3 Agustus,” kataku sambil senyum
“Iyoo, nduk.. matur nuwun yoo.. makasih banget udah bantu Bapak.. Yo wes.. sing ati-ati..”
Siang yang unik! Kapan lagi ya bisa dapet pengalaman siang yang kaya gini…? J

Obrolan Bis

by on December 02, 2008
“Permisi mas… permisi mbak…” Uh. Manusia “setengah-setengah” itu mulai menyodorkan bungkus permen kosong nya selesai berkicau dengan ‘kecre...
Ini masih bagian dari permainan. Terjal berjalan dan telusur tanpa tahu.
Entah kapan ini berakhir. Aku seperti hilang. Ruang waktu yang menarik jauh dari kerajaan jiwaku.
Aku tereduksi menjadi aku yang tak tahu apa-apa. Berjalan bingung yang akan berakhir di titik lelah dengan satuan derajat negatif.
Suatu hari, aku pernah bermimpi. Dia akan menuntunku. Menggandeng ku dalam gelap, dan menyelimuti ku saat terlelap. Kita berjalan bersama di tengah kabut tebal yang akan membuat ku takut. Dan dia berkata “jangan takut, ada aku disini.”
Tiba-tiba aku terjatuh, sakit, dan mulai membuka mata.
Kelak, saat angan itu melambung terlalu tinggi, satu hentakan waktu menyadarkan mu. Hentakan yang menghentak seluruh batinmu hingga kamu berpikir realistis dan berpegang pada logika.
Pada akhirnya, kamu akan mengerti seribu alasan kenapa kamu terlepas dan hilang kendali.

not too bad

by on November 23, 2008
Ini masih bagian dari permainan. Terjal berjalan dan telusur tanpa tahu. Entah kapan ini berakhir. Aku seperti hilang. Ruang waktu yang mena...
Kamu sempurna.
Caramu meminum kopi. Sempurna.
Caramu berjalan. Sempurna.
Caramu memegang setir. Sempurna.
Caramu berpikir. Sempurna.
Kamu sempurna.
Bahkan semua sifat burukmu. Sempurna.
Kamu perlakukan aku dengan sempurna.
Kamu buat aku tersenyum dengan sempurna.
Kamu lukai aku dengan sempurna.
Dan ketika kamu menghilang tanpa jejak, sempurna.
Tanpa ada keraguan, kamu sempurna.

sempurnaa

by on November 23, 2008
Kamu sempurna. Caramu meminum kopi. Sempurna. Caramu berjalan. Sempurna. Caramu memegang setir. Sempurna. Caramu berpikir. Sempurna. Kamu se...
Pikirkan dalam kosong
Tatap dalam gelap
Katakan dalam hati
Lakukan dalam diam
Hancurkan tanpa gaduh
Dan tinggalkan tanpa kembali

Yap

by on November 23, 2008
Pikirkan dalam kosong Tatap dalam gelap Katakan dalam hati Lakukan dalam diam Hancurkan tanpa gaduh Dan tinggalkan tanpa kembali
Kau meninabobokan aku. Membawaku hanyut dalam untaian mimpi penuh warna. Kau ceritakan aku euforia indah kehidupan. Membawa ku dalam tiap kisahmu, hingga aku menjadi alur ceritamu. Dan aku menikmati itu. Menikmati itu semua dan berharap satu detakan waktu takkan membangunkanku.
“Aku kangen mama..” Lidahku berucap tanpa perintah. Dan sepakat, air mata ini menetes pelan dan mengalir di pipiku.
Mama. Sosok wanita yang harusnya paling aku sayang, yang harusnya ada dalam pergantian waktu ku beranjak dewasa, yang seharusnya mengurusku, kini tak tahu ada dimana. Papa mama sering bertengkar. Dan intensitas bertengkar mereka meningkat sejak papa mulai bangkrut. Mereka bertengkar, berteriak, saling menarik otot, berpersepsi demi alibi, seperti tak akan pernah terucap kata sepakat. Esok harinya mama pergi entah kemana, tak ada kabar hingga hari ini.
Mereka terlalu fasih mengucap kata ‘sayang’, sampai-sampai tak ada makna berarti lagi yang dapat ku tangkap dari rangkaian huruf-huruf itu. Bagiku sekarang, kata ‘sayang’ hanyalah basa-basi, kata tanpa isi yang tak berbobot. Ah..aku benci mengingatnya.
Jam dinding di kamar menunjukkan pukul 01.30 pagi. Hingga detik ini, mataku belum mau menutup, seakan ada batang korek mengganjal dan tak bisa di lepas.
Ku buka selimutku, bangun dari tempat tidur, dan buka pintu. Sepi. Rumah ini memang selalu sepi. Aku berjalan menuju teras.
Baru sampai di ruang tamu, mataku lekat menatap seseorang tertidur pulas di kursi kayu tua sebelah pojok ruang tamu. Lelaki itu tak asing bagiku. Hasil perasan keringatnya yang selama ini membesarkan aku
Sebelumnya aku tak pernah selekat ini menatapnya. Aku tak pernah peduli, tak mau peduli, menjadi brutal dan tak terkendali semenjak keluarga ini pecah.
Aku segera berlalu dari tempat itu. Duduk di teras dan bongkar semua isi hati. Hati ku menghentak dan teriak. Hati ini hampa, lenyap, dan mulai binasa. Aku mencoba menariknya, tapi terhembus lalu terlepas. Hati ini sulit ku kendalikan.
Lirih gerutu ini, “Mereka anggap apa aku?”
Mungkin aku terlalu cengeng, tak siap dengan kuatnya ombak yang selama setengah tahun ini menerjang dan mengikis ku sedikit demi sedikit, hingga yang tersisa saat ini hanya tinggal kepingan kecil yang rapuh dan hampir roboh.
Terakhir, sebelum mama pergi, aku berteriak ‘aku benci mama!’dan yang ku tahu mama menangis. Dalam diam aku tak peduli lagi. Mama egois! Sebelas – dua belas dengan papa. Mama pergi, dan saat itu kulihat sebuah sedan mewah menantinya di depan rumah.
Semenjak kejadian itu, aku dan papa sama sekali tak pernah membicarakan mama. Kami sama-sama tahu, itu hanya akan membuka kembali luka yang susah payah kami kubur.
Angin malam mulai masuk ke tubuhku. Menyelinap lewat celah pori dan akhirnya dingin ini menusuk tulangku.
Di saksikan oleh semesta malam, aku menangis. Aku lepaskan tangisan ku. Satu hal yang baru kusadari, aku tak bisa membenci mama ataupun papa. Seringkih apapun jiwa ku saat ini, aku tetap sayang mereka. Dan saat ini, ku rasakan benar bisikan lirih yang ingin di dengar, rintihan hati yang tertunduk pilu entah karena malu atau rindu, aku kangen mama…
Dingin semakin menjadi. Aku putuskan kembali ke kamar. Sejenak aku mematung di depan papa yang tertidur pulas di kursi kayu itu. Aku cium kening papa. Dan gejolak itu kembali muncul. Linangan Air mata ini mulai mengalir. Sebelum semakin menjadi dan tak terbendung, aku beranjak dari diam ku.
Sengaja matikan lampu kamar, tutup pintu, dan rebahkan tubuh di atas kasur kapuk.
Hatiku mulai tenang, gejolak itu mulai berlalu, lepas, dan tak lagi penuh emosi. Malam ini aku ingin mama disini. Aku sungguh kangen mama.
Sisa air mata tadi belum selesai menetes. Setetes..setetes..dan setetes lagi. Aku mencoba redam semua nya. Pejamkan mata dan berharap semua akan membaik.
Ketika mata ini terpejam, aku merasa dekat dengan mama..
Aku terlelap dan semakin dapat rasakan semua nya.
Kau meninabobokan aku. Membawaku hanyut dalam untaian mimpi penuh warna. Kau ceritakan aku euforia indah kehidupan. Membawa ku dalam tiap kisahmu, hingga aku menjadi alur ceritamu. Dan aku menikmati itu. Menikmati itu semua dan berharap satu detakan waktu takkan membangunkanku.

Kangen

by on November 23, 2008
Kau meninabobokan aku. Membawaku hanyut dalam untaian mimpi penuh warna. Kau ceritakan aku euforia indah kehidupan. Membawa ku dalam tiap ki...
Aku menemukan secuil sudut pandang berbeda dari kehidupan kota ini. Aku berjalan-jalan sendiri, menikmati pemandangan malam jalanan kota yang sebelumnya belum pernah aku lihat. Sekarang, tepat pukul 00.30. Diluar sini semuanya berbeda. Inilah kehidupan yang sesungguhnya. Keras, penuh ancaman, puncak bahaya jika tak waspada.
Aku berhenti dan duduk di sebuah trotoar pinggir jalan. Aku amati semua yang terjadi di depan mataku. Sekelompok anak muda yang mengemudikan mobil sambil mabuk. Mobil itu jalan semaunya, seperti tak punya arah. Ku tebak, mereka pasti baru saja pulang berjoged di suatu tempat yang berisik dan lampunya kedap-kedip, mereka bilang itu clubbing. Ah, orang-orang tak jelas. Membuang uang hanya untuk berjoget dan menjadi tak waras setelah minum minuman keras. Apa untungnya?
Ku alihkan pandangan. Bola mataku diam terpaku melihat sebuah warung kopi kecil di seberang jalan sana. Aku tertarik. Mereka tampak serius dengan kartu gaple nya masing-masing sambil sesekali menyeruput kopi kental yang pastinya sudah tidak panas lagi. Setelah kartu di lempar, ada yang tertawa keras, dan ada juga yang menekuk wajahnya. Klise. Sebuah pemandangan yang mudah di jumpai di Indonesia setiap saat. Mereka hanya bergantung pada dewi fortuna nya. Untung jika nasib sedang baik, dan rugi terus-menerus jika nasib buruk tak kunjung mau pergi meninggalkan. Itulah dinamika hidup. Kadang, kita harus berani bertaruh, walaupun hasilnya tak pasti. Hidup adalah tantangan yang harus kita hadapi, walaupun kadang hanya dengan modal nekat.
Aku beranjak dari tempat dudukku. Berjalan mengikuti kemana kaki ingin pergi. Aku menikmati tiap sudut kota ini. Bangunan-bangunan indah yang bernilai seni tinggi berhiaskan cahaya lampu warna-warni seakan lebih hidup dan menceritakan kisahnya masing-masing. Kota ini semakin indah jika malam. Lampu-lampu hias kota yang berkedap-kedip warna-warni menghasilkan sebuah panorama malam yang indah. Dan suasana malam ini semakin dipercantik oleh sang dewi malam yang menampilkan segala pesonanya, bulan bundar itu tampak lebih terang dari biasanya. Aku menikmati semua ini. Benar-benar menikmati.
Aku berjalan ke arah pertokoan. Agak sepi disini. Tak terlalu banyak lampu.
Langkah ku mendadak berhenti ketika melihat banyak orang yang berlari sambil berteriak “maling!!!!”. Rupanya malam ini adalah malam yang buruk untuk si maling. Hanya ada dua kemungkinan untuknya, lolos dan bisa makan, atau tertangkap, babak belur, dan menikmati hunian gratis di penjara.
Aku tak terlalu ambil pusing dengan hal seperti itu. Itu hal yang biasa terjadi di kota besar. Aku tak mau ikut campur.
Kaki ini kembali membawaku berjalan. Menikmati seni kehidupan malam yang indah dan tak ada aturan.
Belum jauh berjalan, aku melihat sebuah pemandangan yang miris.Di depan sana, puluhan gelandangan tidur nyenyak di emperan toko. Mereka banyak sekali. Tidur berdesakan. Hanya beralas koran dan selimut karung. Aku lebih mendekat. Sambil berjalan, aku amati wajah mereka. Tergambar jelas wajah-wajah kelelahan. Mereka berjuang untuk bertahan hidup, tak mau kalah dengan kerasnya cambukan kehidupan. Mereka adalah penantang kehidupan, mengarungi lautan hidup dengan jutaan kemungkinan, selamat atau tenggelam karena tak kuat menahan badai. Jujur, aku kagum. Tak banyak orang yang bisa bertahan dengan keadaan seperti ini. Tapi aku percaya, Tuhan tidak diam. Tuhan punya rencana lain untuk mereka yang tak dapat di jangkau logika manusia.
Sisi kehidupan malam tak selalu buruk untuk di ungkap. Kepingan mozaik hidup yang tak selalu bisa di kumpulkan ketika siang, dimana orang sibuk dengan urusannya masing-masing tanpa sempat mengambil makna berharga dari sebuah keadaan. Malam ini indah. Terasa sangat indah untukku. Di bawah langit malam, aku belajar tentang hidup. Tak selalu menyenangkan. Ada bahagia, sedih, takut, dan semuanya. Hidup adalah misteri. Tak bisa di duga-duga. Kita hanya harus banyak belajar dan lebih siap untuk menyingkap makna yang tak pernah tersurat, tapi tersirat.
Malam ini indah. Benar-benar indah. Dan aku menikmatinya.

Malam di Kota

by on November 14, 2008
Aku menemukan secuil sudut pandang berbeda dari kehidupan kota ini. Aku berjalan-jalan sendiri, menikmati pemandangan malam jalanan kota yan...
Dari balik jendela kamarku, ku tatap lekat sosok lelaki itu. Sudah beberapa hari ini, setiap sore, ku lihat dia duduk di halte depan rumah ku. Lelaki itu sudah tua, usianya mungkin sekitar 60 tahunan.
Entah apa yang menggerakkan ku, tiba-tiba saja aku memutuskan untuk keluar rumah, mengamati bapak tua itu lebih dekat.
Aku duduk di halte, tanpa mengeluarkan suara sedikitpun. Lelaki tua itu menenggokkan kepala nya ke arahku dan tersenyum.
Dia mendekatiku dan bertanya, “Sedang apa anak muda?”
Aku gugup, tapi berusaha langsung menjawabnya, “Hanya duduk-duduk saja, Pak.”
Di bawah langit senja halte yang sudah tidak terpakai itu, aku mengamatinya. Wajahnya keras. Tulang pipinya menonjol. Alisnya tebal, dan jenggotnya nampak tak terurus. Dapat kupastikan bahwa dia seorang pekerja keras. Aku amati tangannya, tangan itu tampak kasar. Tapi jauh dibalik itu semua, aku tak melihat ada topeng yang menutupi dirinya, lelaki itu terlihat sungguh tenteram dengan dirinya apa adanya.
Kami tidak banyak berbincang, dan itu membuatku menjadi semakin tertarik untuk tahu lebih banyak tentang lelaki itu. Dari perbincangan singkat ku dengannya, aku yakin bahwa dia bukan orang biasa. Lelaki itu tak banyak bicara, tapi tiap kata yang di ucapkannya memiliki makna yang dalam, yang tak akan bisa di ucapkan dari mulut seorang awam. Isi ucapannya padat berisi, bukan cuma basa-basi.
Sore ini, aku sengaja duduk di halte. Menunggu lelaki tua itu dan berharap aku dapat tahu lebih banyak tentangnya.
Dia datang. Dan kali ini, senyumku yang menyapa nya terlebih dahulu.
“Sore yang indah ya, Pak.” Aku memancing pembicaraan.
Dia menatapku. Dan sambil senyum, dia menjawab, “Indah sekali.”
Dari basa-basi singkat ku itu, kami akhirnya terlibat dalam suatu perbincangan panjang. Perbincangan berbobot tentang hidup yang memaksaku putar otak untuk mengerti apa makna dalam tiap kata itu.
“Saya selalu mencari apa yang saya cari. Dan semua yang saya cari setiap hari berubah. Sampai akhirnya saya sadar, sesuatu yang saya cari bukanlah sesuatu yang ada wujudnya, tapi sesuatu yang abstrak, mungkin kebahagiaan. Tapi, saya tidak menomorsatukan kebahagiaan. Kebahagiaan sebenarnya bisa kita dapatkan hanya dengan memanage sikap dan hati kita. Saya selalu mencoba untuk menangkap apa maunya Tuhan memberikan kemerdekaan hidup untuk saya. Buat saya, hakikat hidup adalah keterbatasan dan ikatan. Dan kehidupan adalah kedewasaan mahluk Tuhan dalam mengetahui keterbatasan-keterbatasannya”
Aku mengangguk-angguk. Seperti mengerti, padahal tidak. Kata-katanya berbobot. Dari kata-katanya, terlihat jelas bahwa laki-laki tua itu mengagungkan kehidupan. Seseorang yang mempertahankan idealismenya sampai mati. Idealisme seorang tua untuk menjadi sesuatu, bukan untuk mempunyai sesuatu. Prinsip hidupnya jelas, dia harus lebih besar dibanding kesedihan, kebahagiaan, dan kesenangan. Kebahagiaannya diperoleh dari bagaimana dia menyikapi apa yang dia miliki. Itu alasannya tidak menomorsatukan kebahagiaan, tapi menomorsatukan kebenaran dari hal-hal yang dia jalani.
Lelaki tua ini memiliki renungan hidup yang mempesona. Pandangan hidupnya mengisi kembali energi-energi pembangkit dalam jiwaku. Dia merupakan gambaran sosok tegar dalam menjalani hidup, mengarungi hidup yang semakin sulit dengan keyakinan dan kekuatan hati yang sekokoh karang.
Kumandang adzan maghrib menyelesaikan pembelajaranku hari ini. Pembelajaran moral dari seorang Lelaki tua sebagai bekal dalam menjalani hidup.
Di bawah langit senja, di halte yang sudah usang, aku menemukan sisi lain kehidupan dari kacamata berbeda yang membuatnya lebih berharga.

Lelaki Tua di Halte Usang

by on November 14, 2008
Dari balik jendela kamarku, ku tatap lekat sosok lelaki itu. Sudah beberapa hari ini, setiap sore, ku lihat dia duduk di halte depan rumah k...
Masih lekat kedua mata ini menatap sosok di depan cermin Ku perhatikan tiap bagian di tubuh ini. Lemah, tak berdaya, dan terlalu terbebani dengan jutaan pikiran yang terus memaksa masuk dalam diri ini, memaksa otakku untuk terus berputar melihat dan merasakan semuanya.
Ku perhatikan diriku dari ujung kepala hingga ujung kaki. Semuanya terlalu berharga untuk ku jadikan sebagai korban dari luapan emosiku.
Rambut indah yang terurai panjang yang selama ini menjadi mahkota kecantikan ku telah merekam begitu banyak memori di hidupku. Tumbuh perlahan sampai akhirnya dapat terurai hingga bawah bahu ku. Melihat begitu banyak keindahan di dalam nya, aku yakin rambut hitam ini tak pantas menjadi bahan luapan cela ku
Alis mataku. Banyak orang suka melihat alis mata ini. Tebal dan terlukis indah di atas kedua mataku. Terpikir lagi olehku, bahwa lukisan seindah ini terlalu sempurna untuk aku menerima cacian ku.
Kedua mata yang menyimpan banyak kenangan dan memori hidupku. Menjadi saksi semua yang pernah ku lihat di masa laluku dan kehidupan ku yang akan datang. Sebenarnya bukan mata yang terlalu indah yang membuat orang-orang mengagumi ku, tapi mata yang bisa membuatku mengagumi sosok-sosok yang hadir dan berlalu lalang di hidupku. Sebuah indera hebat yang membuat ku peka dan menyadarkan ku akan masa depan yang indah dan masa lalu buruk hidupku. Pengingat ku agar tak selalu memandang ke depan, tapi juga sejenak melihat ke belakang, menatap kenangan yang pernah ada sebagai cambuk dan pelajaran hidup yang berarti untukku.
Lagi-lagi, aku tak menemukan kesalahan di sini. Aku tak pantas menyalahkan sinar indah yang terpancar dari mata ini atas semua yang terjadi padaku.
Banyak orang yang menyukai bentuk hidungku. Mereka bilang hidungku mancung. Aku hanya tersenyum mendengarnya. Arti hidung bagiku bukan hanya sebagai penambah keindahan wajahku. Hidung ini yang menuntunku untuk mencium berbagai wewangian surga di dunia ini. Tanpa boleh terlena, di balik semua keindahan nya, aku tak ingin hidung ini mencium aroma neraka yang kini sering berkeliaran dan mampu merasuk hingga ke dalam jiwa seseorang. Tapi, aku rasa bukan. Penyebab semua kepenatan yang aku rasakan tak satupun aku temukan di sini. Terlalu bermakna jika aku harus terus mencari-cari kesalahan di sini.
Tajam. Begitu banyak orang yang tersakiti karena mulut ini. Begitu banyak air mata yang jatuh sia-sia karena omong kosong yang terkadang bebas keluar dari mulut ini. Ini adalah pedang ku. Siapapun bisa sakit karenanya. Tapi dibalik semua ketajamannya, mulut ini mengantarkan ku untuk dapat bebas mengutarakan apa isi hatiku. Kadang manis, walaupun banyak duri-duri tajam terselip di dalamnya.
Mungkin, aku bisa sedikit mengoreksi diri di bagian ini, meskipun sepertinya terlalu berharga jika harus dijadikan sasaran caci diri ini.
Banyak orang yang telah menyentuh tangan ini. Begitu banyak kasih sayang yang kurasakan lewat tangan ini. Genggaman erat seseorang pernah kurasakan lewat tangan ini. Dari tangan ini pula, aku dapat merasakan apa yang mereka rasakan ketika mereka genggam tangan ini. Jari-jari renggang ini, suatu saat akan ada yang mengisinya, sehingga jariku dapat tertutup rapat dengan genggaman seseorang yang suatu hari akan menemaniku menjalani hidup masa depan ku.
Masih belum ku temui juga penyebab penat ku. Tangan ini tidak bersalah.
Tubuh kecil, kurus, dan kering ini adalah bagian terpenting dalam diriku. Tangan halus, suci, dan penuh ketulusan pernah menggangkat tubuh kecil ini. Tubuh yang dulunya lemah, tak berdaya dan tak bisa bangun sendiri ini, kini telah berubah menjadi tubuh yang kokoh. Telah berubah menjadi tubuh yang kuat dan melindungi hatiku dari pukulan keras yang sewaktu-waktu dapat membuat air mata ini jatuh.
Kupandangi lagi tubuhku. Tak banyak yang berubah dari diriku. Seorang bayi kecil dan suci yang kini telah berubah menjadi sosok gadis dewasa yang harus kuat menghadpai terjangan.
Ku alihkan pandangan ke arah kulit ku. kulit coklat yang selama ini ku anggap sebelah mata. Aku kira aku takkan bisa secantik gadis-gadis muda di luar sana karena kulit ku yang gelap. Tapi sempitnya pikiran ku itu runtuh ketika aku mulai sadar, bahwa aku seorang gadis yang hitam manis. Ya..itu sedikit membamgun rasa percaya diri ku.
Mulai kulihat lagi tubuhku. Sepasang kaki yang telah membawa ku dalam menempuh hidup dan sebagai penuntun setia yang menemaniku. Kedua kaki yang kadang salah langkah dalam meniti jalur lurus yang telah terbentang di jalan hidupku, namun sangat berharga karena ini menjadi modal hidupku untuk berjalan maju menantang kerasnya hidup yang ku lalui.
Lebih lekat aku menatap bayangan diri di cermin itu. Apa yang salah? Tak ku temukan sumber penat ini di setiap bagian tubuh ku. Apa yang membuat aku jadi begini?
Sejenak aku diam, tanpa gaduh dan ciptakan sunyi. Ku pandangi lagi tubuhku yang kini telah terkulai lemas. Air mata itu masih terus menetes, tanpa aku tahu apa yang membuat nya terus menetes.
Dalam diam, tangan ku bergerak dan ku coba sentuh hati ini. Pelan, tapi ku dapat merasakan semua itu. Sampai akhirnya, ku temukan semuanya.
Hati. Ya..hati ini. Semuanya berasal dari hati ini. Hati yang terlalu ku paksakan untuk menanggung semua sendiri. Hati yang telah tertutup titik-titik noda yang sama sekali tak mampu di tembus sinar. Kenapa hatiku? Apa aku terlalu egois? Apa aku sama sekali tak pernah peduli pada keluhan hatiku sendiri?
Semua yang aku lakukan hanya menuruti keinginan ku tanpa peduli dengan semua masalah yang tersimpan di hati ini. Hati ku sudah terlalu penuh oleh tumpukan masalah di tiap sudutnya. Aku tak pernah peduli itu. Yang ku lakukan hanya lari dan coba menghindar dari semua itu tanpa ada niat untuk menyelesaikan dan menghilangkan tumpukan masalah dalam hati ini.
Aku yang salah. Aku tak boleh menyalahkan hati yang menyimpan semua penat ku ini. Aku yang sebenarnya berdosa karena membiarkan semua masalah sampah ini terus tertimbun di hatiku.
Aku masih di depan cermin, mencoba berbaring sambil memikirkan semua tentangku. Ini hidupku. Aku harus bisa temukan jalan keluar dari terowongan gelap yang membuat ku tak bisa tenang selama ini. Masalah-masalah yang selama ini menjadi penggemarku harus segera aku tuntaskan. Harus.
Cerita hidup yang telah tercipta untukku harus dapat ku mainkan sesempurna mungkin. Tanpa cela dan tanpa kesalahan. Pecahkan masalah dalam diam. Ikuti hati dan terus berkaca pada cermin. Mungkin, coba bersyukur dan jalani semua skenario ini dengan baik adalah jalan terbaikku untuk saat ini.

Aku..

by on November 14, 2008
Masih lekat kedua mata ini menatap sosok di depan cermin Ku perhatikan tiap bagian di tubuh ini. Lemah, tak berdaya, dan terlalu terbebani d...
aduu..aduu.. bingung niyy... hehe

My Blog List