Lelaki Tua di Halte Usang

Dari balik jendela kamarku, ku tatap lekat sosok lelaki itu. Sudah beberapa hari ini, setiap sore, ku lihat dia duduk di halte depan rumah ku. Lelaki itu sudah tua, usianya mungkin sekitar 60 tahunan.
Entah apa yang menggerakkan ku, tiba-tiba saja aku memutuskan untuk keluar rumah, mengamati bapak tua itu lebih dekat.
Aku duduk di halte, tanpa mengeluarkan suara sedikitpun. Lelaki tua itu menenggokkan kepala nya ke arahku dan tersenyum.
Dia mendekatiku dan bertanya, “Sedang apa anak muda?”
Aku gugup, tapi berusaha langsung menjawabnya, “Hanya duduk-duduk saja, Pak.”
Di bawah langit senja halte yang sudah tidak terpakai itu, aku mengamatinya. Wajahnya keras. Tulang pipinya menonjol. Alisnya tebal, dan jenggotnya nampak tak terurus. Dapat kupastikan bahwa dia seorang pekerja keras. Aku amati tangannya, tangan itu tampak kasar. Tapi jauh dibalik itu semua, aku tak melihat ada topeng yang menutupi dirinya, lelaki itu terlihat sungguh tenteram dengan dirinya apa adanya.
Kami tidak banyak berbincang, dan itu membuatku menjadi semakin tertarik untuk tahu lebih banyak tentang lelaki itu. Dari perbincangan singkat ku dengannya, aku yakin bahwa dia bukan orang biasa. Lelaki itu tak banyak bicara, tapi tiap kata yang di ucapkannya memiliki makna yang dalam, yang tak akan bisa di ucapkan dari mulut seorang awam. Isi ucapannya padat berisi, bukan cuma basa-basi.
Sore ini, aku sengaja duduk di halte. Menunggu lelaki tua itu dan berharap aku dapat tahu lebih banyak tentangnya.
Dia datang. Dan kali ini, senyumku yang menyapa nya terlebih dahulu.
“Sore yang indah ya, Pak.” Aku memancing pembicaraan.
Dia menatapku. Dan sambil senyum, dia menjawab, “Indah sekali.”
Dari basa-basi singkat ku itu, kami akhirnya terlibat dalam suatu perbincangan panjang. Perbincangan berbobot tentang hidup yang memaksaku putar otak untuk mengerti apa makna dalam tiap kata itu.
“Saya selalu mencari apa yang saya cari. Dan semua yang saya cari setiap hari berubah. Sampai akhirnya saya sadar, sesuatu yang saya cari bukanlah sesuatu yang ada wujudnya, tapi sesuatu yang abstrak, mungkin kebahagiaan. Tapi, saya tidak menomorsatukan kebahagiaan. Kebahagiaan sebenarnya bisa kita dapatkan hanya dengan memanage sikap dan hati kita. Saya selalu mencoba untuk menangkap apa maunya Tuhan memberikan kemerdekaan hidup untuk saya. Buat saya, hakikat hidup adalah keterbatasan dan ikatan. Dan kehidupan adalah kedewasaan mahluk Tuhan dalam mengetahui keterbatasan-keterbatasannya”
Aku mengangguk-angguk. Seperti mengerti, padahal tidak. Kata-katanya berbobot. Dari kata-katanya, terlihat jelas bahwa laki-laki tua itu mengagungkan kehidupan. Seseorang yang mempertahankan idealismenya sampai mati. Idealisme seorang tua untuk menjadi sesuatu, bukan untuk mempunyai sesuatu. Prinsip hidupnya jelas, dia harus lebih besar dibanding kesedihan, kebahagiaan, dan kesenangan. Kebahagiaannya diperoleh dari bagaimana dia menyikapi apa yang dia miliki. Itu alasannya tidak menomorsatukan kebahagiaan, tapi menomorsatukan kebenaran dari hal-hal yang dia jalani.
Lelaki tua ini memiliki renungan hidup yang mempesona. Pandangan hidupnya mengisi kembali energi-energi pembangkit dalam jiwaku. Dia merupakan gambaran sosok tegar dalam menjalani hidup, mengarungi hidup yang semakin sulit dengan keyakinan dan kekuatan hati yang sekokoh karang.
Kumandang adzan maghrib menyelesaikan pembelajaranku hari ini. Pembelajaran moral dari seorang Lelaki tua sebagai bekal dalam menjalani hidup.
Di bawah langit senja, di halte yang sudah usang, aku menemukan sisi lain kehidupan dari kacamata berbeda yang membuatnya lebih berharga.

No comments:

Post a Comment

Hello there, question/comment/suggestion/feedback are welcomed. Please feel free to get in touch with me through my instagram/twitter/email account ;)

My Blog List