Aku takkan lagi bertekuk lutut pada sunyi.
Akan aku nikmati, mungkin akan lebih nikmat dengan secangkir kopi.
Tak akan lagi aku merintih. Jangan harap kau –sunyi- dengar itu lagi.
Karena aku tahu aku tak sendiri.
Aku tak mau lagi bertikai dengan sunyi. Aku tak mau bertaruh kalah-menang dengan sunyi.
Putu Wijaya pernah bilang, ”Kemenangan terbesar pada sebuah pertikaian yang sehat, bukanlah kemenangan atas sebuah kekalahan yang lain, tetapi pemahaman yang lebih jitu tentang permasalahan intinya.”
Aku tak mau lagi, menang menginjak sunyi, atau kalah diinjak sunyi. Tapi aku akan berkenalan dengan sunyi, menjadikannya inspirasi dalam imajinasi.
Aku akan belajar dalam sunyi, bersenandung dan mencicipi seni di dalam sunyi.

Sunyi

by on July 31, 2009
Aku takkan lagi bertekuk lutut pada sunyi. Akan aku nikmati, mungkin akan lebih nikmat dengan secangkir kopi. Tak akan lagi aku merintih. ...
”Kita, dengan berbagai keinginan kita yang saling bertentangan, merasa bahwa kebenaran adalah milik kita. Keadilan adalah pelindung kita. Dan di luar kita, semuanya tidak benar dan tidak adil. Setidak-tidaknya kurang benar dan kurang adil
Ada sesuatu yang sudah di hapus dengan hampir semena-mena, hanya untuk membenarkan sebuah kesimpulan besar.” –BOR, Putu Wijaya-

Setelah buka-buka folder tulisan lama, nemuin saduran tulisan Putu Wijaya yang itu tuh (baca paragraf pertama!).
Beberapa hari lalu, saya sempet ngerasa galau – gelisah menunggu disini gitu deh.. –??! apa sich...-
Keyakinan dasar seorang egois yang dari dulu nempel ga mau ilang, ’i am right, and u are wrong’. karena saking ‘keukeuh’ nya, saya jadi uring-uringan sendiri, nggak jauh sama orang yang kebakaran jenggot.

Sering kali kita nggak sadar atau pura-pura lupa dengan tingkah laku dan kesalahan diri sendiri. Sibuk ngurusin kesalahan orang lain, sibuk cari-cari kurangnya orang lain, tanpa mau introspeksi sama diri sendiri. Masa iya harus bawa-bawa kaca besar kemana-mana?

Itu yang terjadi sama diri saya kemarin-kemarin.
Seakan-akan mata saya ditutup untuk liat gimana sikap saya waktu itu.
Ngerasa bahwa saya yang paling bener, paling menderita, dan paling-paling yang lain, sampe pada akhirnya saya sadar, kelakuan saya sudah menyakiti orang lain.
Konklusi yang ada pada saat itu hanya berdasarkan spekulasi saya.
Sangat nggak adil memang. Mungkin nggak dewasa juga kalo melirik ke umur saya. Tapi waktu itu ’bawaan jiwa’ dan ’keadaan alam’nya sangat mendukung, tambah jadilah saya.

Salah seorang temen saya pernah bilang, ”Kalo ada masalah, jangan liat hanya dari satu sudut pandang, minimal 2 sudut pandang, sudut pandang kamu dan sudut pandang dia.”
Sip. Dalam keadaan emosi normal, hal itu sangat amat bener sekali banget. Tapi lagi-lagi, keadaan di lapangan nggak selalu selaras sama mudahnya teori.

Membuat kesimpulan besar dan benar, tanpa menghapus nilai moral yang mulai terlupakan, tetap adil walau bertentangan, dan tidak merasa bahwa kebenaran adalah milik perseorangan,
susah memang, tapi bukan berarti nggak mungkin untuk dilakukan.. 
(9 kata terakhir, taken from Agustinus Dimas, 2008).
.
Update status facebook dari salah seorang teman, “Love is not about finding a perfect person but understanding an imperfect person perfectly”
Saya baca baik-baik kalimat itu.
Isinya sama sekali nggak salah. Bahkan sangat bijak jika memang bisa di lakukan sepenuh hati, setulus jiwa (halah...).
Perlu diketahui bahwa nggak ada satupun orang yang bisa sempurna untuk mengerti orang lain. Sabar dan pengertian memang nggak ada batasnya, tapi tiap orang punya batas kemampuan berbeda dalam menerima suatu keadaan.
’understanding an imperfect person perfectly’, tergantung bagaimana cara pandang kita masing-masing terhadap ketidaksempurnaan seseorang dan cara kita menyikapi kekurangan orang lain.

Tulisan di paragraf pertama,
Itu kesimpulan beberapa hari yang lalu, saat saya lagi emosi.
Sekarang, saya temukan ’seni’nya.
Semuanya mungkin, sayang dan tekad yang kuat bakal mengcover segala ketidakmungkinan dengan keoptimisan.
’understanding an imperfect person perfectly’, kita akan mengerti tentang apa, bagaimana, kenapa harus, dan lainnya.
Perlu beberapa hari saya berpikir untuk narik sebuah kesimpulan dari rangkaian kalimat di atas. Awalnya penuh emosi, tapi setelah emosi itu reda, hakikat dari ketidaksempurnaan adalah sama, wajar, dan umum.
Cinta, sama sekali bukan mencari kesempurnaan, tapi membangun kesempurnaan. Bisa mengerti dan toleransi, tiap tarikan nafas akan jadi lebih berarti.

Curhat

by on July 31, 2009
Update status facebook dari salah seorang teman, “Love is not about finding a perfect person but understanding an imperfect person perfectly...
Apa benar harus salahkan hari ini?
Atau, apa iya ini salahnya kemarin?
Rasanya bukan.
Lalu? Salahnya siapa?

Urat sadar mungkin sedang tak bekerja.
Atau refleks ku yang hyper aktif.
Tak taulah apa yang terjadi.

Cicak pun lari!
Semut pura-pura mati!
Siapa lagi yang berani?!

Tak tau apa yang terjadi.
Aku pergi.

Jadi?

by on July 31, 2009
Apa benar harus salahkan hari ini? Atau, apa iya ini salahnya kemarin? Rasanya bukan. Lalu? Salahnya siapa? Urat sadar mungkin sedang t...
Terjebak dalam ‘terlalu’.
Yang namanya terjebak dimana-mana nggak ada yang enak, kecuali terjebak dalam cinta. Kenapa? Karena ujung-ujung nya rindu.. (:p). Tapi kalo udah terjebak rindu, nggak enak juga sih..
Back to topic, T E R L A L U .
Yap. Yang ‘terlalu’ emang nggak baik.
’terlalu’ itu sebenernya membunuh pelan-pelan. Sampe kita udah nggak bisa nafas pun, ’terlalu’ ini susah banget untuk lepas. Kenapa? Karena diri kita yang sendiri yang kadang hobi melihara si ’terlalu’ ini.
Memelihara terlalu, caranya?
Nggak pernah ada yang sadar. Ini jelas-jelas nggak dilakukan sama otot sadar, dan kadang nggak dilakukan juga sama kemauan yang sadar untuk memelihara nya. Entah kapan, suatu saat, kita baru akan sadar tentang pesatnya tumbuh kembang si ’terlalu’ ini di jiwa kita.
’terlalu’, menimbulkan efek jangka pendek, misalnya jadi nggak mau tau, negative thinking, takut, cemas, gelisah, nggak tenang tanpa sebab, dan berpikiran aneh tingkat tinggi. Yang lebih menakutkan, efek jangka panjangnya, nggak bisa nerima keadaan, nggak mau di atur sama batas-batas aturan yang sebenernya nggak bisa diacuhkan, lebih parah, mendukung naiknya tingkat stress secara signifikan yang menyebabkan nangis, broken heart, pengen bunuh orang, dan lain-lain.’terlalu’, ketika saya sadar terjebak dalam ’terlalu’ stadium awal, saya paksa jiwa saya untuk lupakan hal itu. Saya hampir jadi korban karena ’terlalu’ yang saya punya.
Hal ini tiba-tiba muncul di pikiran saat saya lagi sendiri di tempat jemuran rumah saya, ”Saya sudah melebihi batas, batas yang tidak pernah saya buat batasannya. Beberapa bulan ini saya adalah ’terlalu’, dan walaupun saya menikmati itu, tapi hal itu jelas mencekik ’leher’ saya. Segala sesuatu harus ada batasannya, harus ada garis tepi yang jelas, pembeda yang kontras. Saya tak mau lagi jadi ’terlalu’, sungguh cape, dan belum tentu sesuatu yang kita perjuangkan dengan ’terlalu’ ini akan memperjuangakan kita dengan ’terlalu’ yang sama.”

”Jiwa kita tidak diam, dengar bisikannya, dia memang tak selalu benar, tapi dia jarang sekali salah”

Terlalu

by on July 31, 2009
Terjebak dalam ‘terlalu’. Yang namanya terjebak dimana-mana nggak ada yang enak, kecuali terjebak dalam cinta. Kenapa? Karena ujung-ujung n...
Wuaaa!
Dapet award dari kawan blogger yang baik hati,
Rachmat.
http://therachmat.blogspot.com

Ini nih award nya,


therachmat.blogspot.com


Terima kasih banyak!

Buat yang selanjutnya dapetin award ini, tolong forward-in lagi ke temen2 yang lain, ya. Dengan berbagi bisa masuk surga juga loh, hehehe.

Award ini buat:

Bapak ku tercinta, 'wisdom home'
http://ayekologi.blogspot.com

Tante tika ku sayangg, 'dear diary'
http://mamasiolive.blogspot.com


Terima kasih!

Award

by on July 02, 2009
Wuaaa! Dapet award dari kawan blogger yang baik hati, Rachmat. http://therachmat.blogspot.com Ini nih award nya, Terima kasih...

My Blog List