Jika pada dasarnya manusia berbeda satu dengan lainnya, kenapa mesti seragam pada akhirnya?

Saya mungkin jadi satu pembaca buku-buku self help yang nggak akan lulus jika ada ujiannya.
Menurut saya, buku-buku self help adalah buku-buku paling damai sedunia. Di dalamnya bertaburan cerita soal betapa mudahnya mengalahkan diri sendiri, bahagianya ikhlas, dan damainya hidup berdampingan meski banyak perbedaan, kurang lebih begitu; hingga saya lupa bahwa dalam kehidupan sebenarnya, yang akan saya temui adalah beragam manusia yang belum tentu mengaplikasikan prinsip-prinsip yang indah dan mengindahkan, sebagaimana teori-teori yang saya agungkan.

Suatu kala, saya mengambil keputusan berani menyangkut hidup saya.
Hati nurani seringkali nggak bisa diam saat apa yang saya yakini benar harus kalah atau tidak tersampaikan demi sekedar menyenangkan orang lain.
Jika pada dasarnya manusia adalah berbeda, kenapa seringkali kita dituntut untuk punya dan setuju dengan 1 pemikiran mayoritas?
Dan kenapa seseorang (atau sekumpulan orang) jadi merasa berhak menghakimi orang lain yang menyuarakan sesuatu dari perspektif yang berbeda?
Dan jika manusia harus menyesuaikan diri dengan lingkungan, apakah diam adalah upaya penyesuaian paling baik demi keselamatan diri sendiri?
Dan apakah tujuan hidup manusia semata-mata untuk menyelamatkan diri dari manusia lainnya?

Atas nama diri sendiri, saya akan menerima konsekuensi dari suara yang saya yakini. Orang dengan pemikiran (yang saya anggap) sempit nggak masuk dalam hitungan saya. Saya ingin mereka tahu, yang mereka lakukan atau akan lakukan kepada saya adalah sia-sia.
Tapi demi orang-orang yang saya cinta dan yang cinta kepada saya, mungkin saya akan mulai mengikhlaskan pecahnya perang batin dalam diri saya dan meredamnya meski dengan tergopoh-gopoh.

Dan saya jadi terlalu nyaman dengan kondisi sendirian.
Free dari ngejudge dan dijudge orang.
Bahagia, bukan?

Lalu apakah yang membuat saya nggak akan lulus dari ujian buku-buku self help?
Saya belum kunjung bisa menerima orang yang nggak bisa menerima perbedaan.
Dan sesungguhnya, pribadi yang nggak bisa menerima orang yang nggak bisa menerima adalah serupa

Seragam

by on November 06, 2016
Jika pada dasarnya manusia berbeda satu dengan lainnya, kenapa mesti seragam pada akhirnya? Saya mungkin jadi satu pembaca buku-buku s...
Sudah selayaknya kita menikmati diri sendiri.
Seburuk apapun Kamu menilai dirimu, bersyukurlah.

Ada hal yang selalu menjadi ‘hantu’ buat saya.
Yang selalu memunculkan takut. Gelisah setiap saat. Ragu-ragu.
Merasa nggak normal seperti manusia seharusnya.
Dan saya mengutuki diri sendiri karena itu.
Saya jadi manusia yang berpikiran super sempit.
Sampai satu demi satu hal datang dan mulai ngegerakin otak saya yang hampir berkarat.

Pernah nggak mendapati kondisi orang lain yang lebih buruk? Pernah.
Pernah nggak dengar omongan ‘bahagia ya jadi kamu’, minimal sekali saja seumur hidup? Pernah.
Apakah sampai hari ini nggak juga ketemu solusi dari sekian banyak hal yang dianggap menyedihkan? Ada sih.

Saya merasa berhak nangis sejadi-jadinya merasakan begitu sulitnya ikhlas sebagaimana mudahnya Kamu bilang.
Seikhlas kedai kopi menerima saya yang nggak pernah pesan kopi.
Seikhlas art gallery yang dikunjungi demi sekedar foto Instagram.
Seikhlas Kamu merelakan hal untuk diikhlaskan.

By the way, kata penutup Dokter di Jl. Ampera hari ini begitu manis, “Kamu butuh day off; liburan, me time”.
A nice prescription, huh?!

Antasari 66

by on November 05, 2016
Sudah selayaknya kita menikmati diri sendiri. Seburuk apapun Kamu menilai dirimu, bersyukurlah. Ada hal yang selalu menjadi ‘hantu’ ...

My Blog List