Bisa nulis jadi salah satu hal yang paling saya syukuri. Makin tua, rasanya makin bersyukur bisa nulis. Bisa ya, baik belum tentu, bagus belum tentu, bermanfaat juga belum tentu. Melegakan; iya. 


Memang kalau sudah malam, sudah pake selimut, ya udah tidur aja, nggak perlu cari lagu pengantar tidur. Efeknya begini. 00.12, baru kelar ngedraft materi, besok jadwal WFO, bukannya tidur malah cari laptop. 

 

Minggu lalu penuh hal random. Nemu kondisi yang dikuatirkan bakal terjadi; gimana kalo ternyata saya, diri kita sendiri, nggak seperti yang saya, kita sendiri, pikirin selama ini. Oh ya? Wow. Masa? 

Bikin overthinking beberapa hari. Kerja overthinking, mandi overthinking, tidur juga masih overthinking sampe sikut kepentok tembok berjam-jam dan kurang darah. 

Hubungannya apa sih, Viani?

 

Sibuk apa akhir-akhir ini? Aku sejauh ini sibuknya ngomel sih. Sama sibuk cari cara supaya lebih banyak evaluasi dibanding cari alasan buat bela diri. Biar agak bijaksana. Berusaha untuk yaudah telen aja dulu meski yang di dalam rasanya pingin berontak. Bisa jadi benar saya yang salah orbit; ya bisa jadi juga sih yang di sana kureng. Wk. 

 

00.46

Tidur Viani, besok kerja.

 

00.47

Btw, kepikiran beberapa statement basa-basi yang hanya bisa jadi menarik kalo ketemu sama orang yang se-frekuensi. Yang paling menarik menurutku adalah, “Lagi denger lagu apa sekarang?”

Yang ini kalo udah lebih deket dan tau lebih banyak, “Eh, pernah kesana? Lewat jalur mana? Aku pernah lewat selatan.”

Ya kalo mentok nggak deket juga padahal udah diusahain, besok-besok begini aja, “Di Melawai ada claypot enak. Nanti kamu coba ya. Kamu makan claypot, aku beli onigiri di Papaya. Jadi, aku kiri koe kanan, wes bedo dalan.”

 

1.01

Aneh, Viani. Tidur.

Btw,

by on August 31, 2021
Bisa nulis jadi salah satu hal yang paling saya syukuri. Makin tua, rasanya makin bersyukur bisa nulis. Bisa ya, baik belum tentu, bagus bel...


Apa jangan-jangan, kita hanya hidup di pikiran masing-masing? 

Karena hidup yang dijalani sebenarnya berputar di situ-situ aja. Nggak benar-benar sedamai video pedesaan yang dibumbui lagu untuk diup di Instagram. 

Kita cuma selalu sibuk membandingkannya dengan andai-andai. 

Gimanapun damainya video pak tani panen di sawah, atau anak kecil lari-larian di pinggir sungai, bukankah selalu ada ketakutan pak tani gagal panen? Atau harga beras jatuh? Atau anak desa yang nggak berani ke sekolah karena belum bisa bayar SPP?

 

Lagi banyak merasa ‘apasih, apasih’.

Kita begitu hidup dalam media, nyatanya belum tentu.

 

Justru waktu aku benar-benar bahagia, segalanya jadi cepat, berasa selewat.

Dan saya nggak pernah mampu untuk menggambarnya, atau bahkan menuliskannya. Terlaluuuuu besar perasaannya.

 

Bahagia seharusnya selalu saat ini, selalu sekarang.

Jangan lupa bersyukur. Alhamdulillah.


P.S.: Gambar di atas baru banget di foto, airdrop ke laptop, up. Ternyata 'bahagia' bisa difoto.

Menonton Bahagia

by on July 25, 2021
Apa jangan-jangan, kita hanya hidup di pikiran masing-masing?  Karena hidup yang dijalani sebenarnya berputar di situ-situ aja.  Nggak benar...


Kumpulan mood random dan text yang ada di kepala. Kadang cukup dirasain lalu hilang; kadang perlu dikeluarin biar lega. Inilah tulisan yang ‘masa iya hampir 30 tahun isinya beginian’.

 

2 Juli 2021 

Berangkat kerja di waktu matahari sudah tinggi, di jam paling siang seumur hidup, 06.50 baru nyalain mobil. Jalanan yang biasanya baru masuk tol aja udah berhenti, hari itu kosong melompong membahagiakan. Terima kasih karyawan-karyawati DKI yang berbahagia kerja di rumah saja. Jalanannya buatku semua.

 

Buka Spotify dan asal pilih playlist dengan keyword ‘Friday’.

“You’re insecure. Don’t know what for”

One Direction sampai keluar Tol Jatikarya. Aku bahagianya nggak ada dua. Nyanyi teriak-teriak dengan joget seadanya.

 

5 Juli 2021 

Siang ini kondisi di luar kelihatan cukup panas walaupun kayaknya nggak panas-panas amat.

Baru banget melangkah keluar dari kamar mandi, lihat jendela, kena semilir angin AC, dan berpikir, “Duh senikmat ini hidup gue.” Liat kasur rasanya enak banget buat bobo siang.

“Abis solat bikin kopi sambil main The Sims enak nih.”

 

Dari sekian banyak hal yang dikuatirkan saat ini, kufur nikmat sih kalo nggak bersyukur. Baru di titik ini makin merasa nggak butuh main keluar, entah karena kelamaan di rumah atau memang butuhnya sudah berubah.

 

Salah satu yang paling signifikan adalah nggak merasa butuh ke toko kopi. Mau apa? Kopi paling enak (ye menurut gue), bisa bikin sendiri. Justru kadang ngopi di luar rasanya malah kayak “Duh, kurang creamy lagi. Duh ketipisan. Duh keaseman.” Dan sebagainya.

Mau nge-teh buat variasi? Teh paling sehat dengan rasa paling enak, aku punya! White tea? Green tea? Yang diblend pake bunga? Pake buah? Ada, tinggal seduh.

Atau matcha? Duh, aku bahkan beli yang ceremonial grade. Lebih authentic dibanding matcha yang dipake di toko kopi pada umumnya. Campuran susu, ada. Mau dicampur keju? Bisa.

Kurang apa coba hidup per-kopi-an gue?

 

Kabar gembira, masak juga bisa! Sayur pasti ada stock, udah diprepare sekalian malah, tinggal pilih di kulkas. Mau yang cepet, dibuat sayur bening atau pake bumbu racik? Oh, atau pake bumbu pecel? Lengkap.

Nggak mau berkuah? Bentar yah, potong bawang dulu buat tumisan.

Pengen bakso? Ayam atau sapi? Aku bisa bikin nggak pake tambahan tepung, tanpa pengawet, ya penyedap masih pake sih, Totole dalam jumlah wajar.

Digoreng pakai tepung ok juga tapi janganlah, better less minyak. Mentok di air fry bisa sih, cuma aku prefer nggak masak dari sesuatu yang mentah di air fryer. Setengah mateng oke lah, supaya suhunya max. 100 derajat celcius aja. Protein kena suhu tinggi dan dalam waktu lama bahaya cuy.

 

Apa? Mau apalagi yang nggak bisa di rumah?

Bahkan belanja sabun, odol, tissue, semuanya bisa dari Shoope Mart. Tinggal gelinding doang ambil di lobby.

 

Mungkin sebenarnya manusia memang nggak butuh banyak. Makan nasi anget dikecapin sama telur dadar aja udah enak banget.

 

Oh, barangkali satu-satunya yang manusia butuh banyak adalah rasa tenang, rasa baik-baik aja, rasa merelakan atas berbagai hal di luar kendalinya.

Manusia itu kapan nggak nggak tenangnya ya? Kapan nggak punya kegelisahan, nggak punya ketakutan, nggak punya rasa khawatir sama dirinya?

Gue nih pasti ilmunya kurang, ngajinya juga, solatnya juga.

 

Di Senin siang menjelang sore, mendung nggak, terik nggak.

Biasa-biasa aja.


Biasa-Biasa Aja

by on July 05, 2021
Kumpulan mood random dan text yang ada di kepala. Kadang cukup dirasain lalu hilang; kadang perlu dikeluarin biar lega. Inilah tulisan yang ...


Diana, kekasihku, pukul 01.00 dini hari duduk gagah di tembok pendek kaki lima Masjid Atta’awun. Menyendok roti tawar dalam sebuah mangkuk sekoteng setelah berkali-kali menolak pesan. Aroma jahe kuah sekoteng dengan sengaja lewat persis samping hidungnya.

Diana, Diana, kekasihku, luluh jua seketika.

 

Hari itu Diana terlalu bahagia. Diana lupa alasan kenapa selalu ragu memberi ‘iya’ pada sekoteng. Rumor beredar, roti tawar abang sekoten adalah roti tawar kadaluarsa yang dipotong dadu. Tapi lupa tinggallah lupa. Ususnya kini mulai mencerna roti tawar, bersamaan dengan jahe dalam kuah sekoteng, kacang dalam ronde, dan sedikit kotoran tangan abang sekoteng.

 

Diana, Diana, kekasihku, merajuk mencari gelato pukul 02.30 dini hari.

Lain hari, ku bawa kau keliling Indonesia. Ku pertemukan dengan langit gelap berisi jutaan bintang. Tanpa sekoteng, tanpa gelato, tanpa penyesalan.

Satu-satunya yang akan kau minta hanyalah Indomie. Dan aku.

Karena tanpa aku, kau takkan bisa membuat Indomie. Indomienya ku simpan di ranselku.

Sekarang jangan menyesal. Aku biasa di tempat biasa.


Cerita Sekoteng

by on June 24, 2021
Diana, kekasihku, pukul 01.00 dini hari duduk gagah di tembok pendek kaki lima Masjid Atta’awun. Menyendok roti tawar dalam sebuah mangkuk s...


Perkara kopi belum habis. 


Pernah kuatir berlebihan akan masa depan? 

Berkali-kali mengingatkan diri sendiri untuk nggak mikirin hal-hal di luar kontrol tapi berkali-kali juga dilanggar. Awalnya tanpa sadar, selanjutnya dengan sadar dan kelewatan. 


Ngomong-ngomong, jatuh cinta seindah itu ya. 

Tatapan mata dan senyum manusia kasmaran itu kadang juga obat buat sekitar. 

Kemungkinan besar tulisan ini muncul sebagai akibat kebanyakan nonton Pamungkas sepanggung bareng Cantika Abigail di masa mereka masih pacaran. 


Menyambung itu, salah satu patah hati terbesar adalah saat hubungan yang terasa seru banget, terasa akan selalu seru, nyatanya nggak bisa lanjut lebih jauh. Kayak, ada aja sesuatu yang terlalu nggak bisa cocok saat terlalu cocok. Eh, ngerti kan? 

Barangkali memang kita semua diberi masa pernah sebodoh itu mencintai orang, pernah senggak mau itu percaya sama kata hati sendiri, pernah sekeras kepala itu memperjuangkan yang diri sendiri (kira-kira) tau bakal seperti apa pada akhirnya; sebelum ketemu muaranya dimana. 

Kopi kekentelan nih kayanya. 

Ya gitu sih. 

Tiba-tiba ya gitu sih. 


Terjebak sama topik intermezzo. Emang Pamungkas nggak bisa dilawan. 

Paragraf di atas beloknya kejauhan, tapi putar balik juga ngabisin energinya kebanyakan. 


Kondisi beberapa waktu ini agak kurang bersahabat. Tidur larut dan kopi yang nggak pernah absen mulai jadi kebiasaan. Banyaknya cari duit, selebihnya cari ruang, katanya. 


Ada kalanya manusia butuh ruang. Nggak sih, manusia sewajarnya butuh ruang; ruang untuk tumbuh, selain untuk pulang. Ya walaupun nggak semua orang diberkahi privilege untuk menciptakan ruang. 

Di sisi lain kita semua punya pilihan, toh. Atau sempat punya pilihan. 

Semoga yang terlambat hanya jadwal penerbangan maskapai itu aja ya, kita nggak. 

Duh, ga masuk lagi.


Kentang tapi kopi habis. 


#ngabisinkopi

by on March 21, 2021
Perkara kopi belum habis.  Pernah kuatir berlebihan akan masa depan?  Berkali-kali mengingatkan diri sendiri untuk nggak mikirin hal-hal di ...


23.33 

Baru selesai kerja sekitar 30 menit yang lalu. 

Selesai kerja ya, bukan selesai pekerjaannya. Lagi tumben. Moodnya biasa aja tapi ide ngalir cukup lancar tanpa putus. 


Masih banyak yang harus dan (sedikit) ingin dipikirin tapi mesti kenal stop. 

Besok-besok lagi. 


Apa kabar? 

Wajarkah merasa bodoh? 


Saya selalu merasa lebih nyaman pakai ‘saya’ atau ‘aku. Tapi, beberapa kalimat di bawah enaknya pake 'gue'; jadi baiklah. 


Ga cuma sekali. 

Ada aja muncul pikiran “Company ini kasian kalo gue mulu Corporate Planning-nya.” 

Entah darimana tapi seringkali merasa nggak cukup pintar. Merasa anak teori yang kaku tapi sok asik; jadi ya ga asik. Kadang terlalu sempit pikirannya. Kurang jauh mainnya. Kurang explore. Di kotak banget. Ya semua yang nggak cukup baik dan membosankan itu gue lah. 


Anehnya, cukup sering juga merasa pintar. 

Bodo amat. Kan ini tulisan gue, kata gue. Ya suka-suka gue lah.

Ga jarang sebel sama orang karena merasa itu manusia bebal banget dikasih tau berkali-kali tapi nggak ngerti-ngerti. Atau sama manusia kurang inisiatif. Atau sama manusia yang terlalu rajin nanya di depan padahal belom coba, belom explore, belom cari tau sendiri. Atau manusia yang ‘kek gitu aja kok begini dah’. Ya ngerti lah yang gimana. Yang bego.

Lah, kasar.

Mohon lihat judul. Jadi, please kali ini semau-mau gue. Kan tulisan gue juga. Blog gue juga. Lah situ ngapa baca. Ga suka? Ngapain masih lanjut baca? Close.

 

Hehe. Sini peluk. Eh ga boleh deng.

 

Iseng buka booking.com di sela waktu kerja karena hasrat ingin road trip yang makin nggak terbendung.

Chat di grup minta pendapat soal trip nekat tapi satupun nggak ada yang balas.

Yaiyalah siapa juga hari gini minat balas pertanyaan kurang penting. Mending tidur. Atau bikin Indomie. Pake telor. Telor yang dikocok tipis barengan mie yang lagi dimasak. Masukin telornya belakangan pas mienya sudah setengah matang. Enak. Tapi dosa.

 

Jadi soal booking.com, harga hotel incaran untuk beberapa hari masih masuk budget.

Yang ga masuk adalah logikanya. Logikanya dimana. Covid udah sejuta, tambahan per hari menuju 14 ribu orang, terus situ mau road trip?

Iye, road trip. Staycation, cari keramik, keliling kota, ngajak jalan-jalan kamera yang udah begitu lama dianggurin jadi pajangan doang, mentok ya paling kulineran.

Dan sendirian. Harus sendirian.


Wah gila sih unsosnya naik level sejak jadi anak apartemen.

Minim basa-basi. Semua diset pake standar sendiri. Minim komplen karena segala settingan pake standar diri sendiri. Mau apa terserah. Mau pake baju apa, mau ngapain, gamau nyapa, gamau sharing; bebas.

Gawat, ya? Tapi happy. Gimana dong?

 

Kembali soal road trip. Ya nggak masuk akal sih realisasinya di tengah kondisi begini. Unsos boleh, jahat jangan. Emang jahat sama siapa? Sama diri sendiri lah, sama orang-orang yang gue sayangin, sama orang-orang sekitar gue. Yaudah tahan lagi aja.

Kesimpulan macam apa ini.

 

Beberapa menit setelah selesai kerja niatnya mau langsung tidur.

Ya beneran udah siap tidur sih. Lalu buka Instagram sambil rebahan, lengkap udah peluk guling dan pake selimut. Yang muncul paling atas adalah Ig TV-nya Fiersa Besari ‘Dari balik panggung 2019. April. (Balikpapan).’

Kebawa suasana lalu nggak jadi tidur.

Kebetulan posisi laptop persis di sebelah muka. Pas dinyalain low batt.

Apakah ini cara Allah menyuruh aku tidur?

Tapi, kali ini kemageran ambil charger kalah sama keinginan ngomel.

 

00.12

Harusnya tulisan malam hari itu menelurkan sesuatu yang inspirasional ya. Yang memotivasi. Atau at least, tulisan gada isi tapi bahasanya bagus.

Ini nggak kayanya. Nol konten, bahasa bar-bar. Eh tapi ada deng. Jujur, apa adanya, dan penuh emosi. Kapan lagi posting tulisan blog nggak pake filter.

 

00.15

Cukup, ya. Fisiknya tetap butuh istirahat walau pikirannya lagi ingin jalan kemana.

Ya kemana kek, ke puncak makan indomie jam segini oke juga.

Eh jangan. Covid. Sayangi dirimu dan orang-orang yang kamu cinta - dan cinta kamu.

 

Semoga sehat selalu.

 

Yang udah, jadi pelajaran.

Yang belum, nggak perlu dicoba kalo cuma buat jago-jagoan.

Nggak juga semua hal perlu dicoba.

Udah.

 

00.20

Happy weekend.


Semau-Mau. Enakan Pake Gue.

by on January 30, 2021
23.33  Baru selesai kerja sekitar 30 menit yang lalu.  Selesai kerja ya, bukan selesai pekerjaannya. Lagi tumben. Moodnya biasa aja tapi ide...

Salah satu catatan paling pahit yang pernah saya tulis dalam notes, 8 Agustus 2019,
“Pait, bre. Tapi butuh. Yaudah telen aja. Buat kebaikan.” 

9 Januari 2021 
Makin terasa bias kondisi mana yang harus disikapi dengan senang, sedih, marah, egois macam apa yang dibenarkan, dan keluhan seperti apa yang masih boleh diungkapkan. 

Seringkali saya rindu hidup waktu kecil dulu. 
Bapak sering sekali sempatkan waktu untuk jalan-jalan naik motor. Saya selalu minta naik di depan. 
Suatu hari waktu jalan-jalan pagi, Bapak berhasil suruh saya makan ilalang liar. Kata Bapak rasanya manis. Setelah saya cicip, saya nangis sedangkan Bapak ketawa bahagia. Anaknya sendiri diprank.

Atau jalan-jalan sore lewat sawah. Bapak selalu nungguin saya bilang ‘segeeeeeng’ (re: seger) karena angin sawah pasti sepoi-sepoi.

Hari ini banyak sekali berita kehilangan.
Kehilangan rasanya nggak pernah mudah.
Peluk jauh satu-satu. Semoga lukamu lekas sembuh.

30 November 2020
Ya hidup sih.
Tapi rasanya kayak Rara tanpa Nanda, atau Elda nggak ada Adi.

7 Juli 2020
Ada yang jadi orang asing; yang sebelumnya pernah sempat paling tau masing-masing.

16 Juni 2020
Nggak semua yang kamu nggak tau itu salah. Kamu cuma nggak tau aja.

29 Juni 2019
Barangkali, orang paling bahagia di dunia kalau ditanya, “Pengen apa?” jawabannya, “Nggak pengen apa-apa.”


Selamat berbuat baik. Selamat bersyukur. Selamat belajar menjadi lebih hebat. 

Catatan Handphone

by on January 11, 2021
Salah satu catatan paling pahit yang pernah saya tulis dalam notes, 8 Agustus 2019, “Pait, bre. Tapi butuh. Yaudah telen aja. Buat kebaikan....

My Blog List