Sebenarnya aku ingin menangis.
Tak rela aku palingkan pandangan sedetik pun darimu.
Ketika hari-hari menjadi semakin dingin, waktu langit mendung mulai menoleh, saat rintik hujan turun dengan bunyi ‘tik..tik..tik’ nya.. Aku akan sangat rindu kamu.

Jangan tidur malam ini. Tinggallah dan temani aku.
Menyakitkan..ketika aku tahu tiap jam berlalu, dan datang menjelang..
Tiap menit begitu berarti.
Sesungguhnya aku takut, tapi besok aku akan biarkan mu lepas, terbang meraih mimpi mu.
Kamu akan kembali lagi, aku tau itu pasti, semua hanya masalah waktu.
Kamu selalu jadi bagian dariku. Kamu selalu menjadi cintaku.

Titip rindu buatnya..

titip rindu buatnya..

by on January 25, 2009
Sebenarnya aku ingin menangis. Tak rela aku palingkan pandangan sedetik pun darimu. Ketika hari-hari menjadi semakin dingin, waktu langit ...
Semua jalan itu beralasan.
Tapi tak semua diizinkan tau dan mengerti.
Apa yang kamu ingin, apa yang aku pilih, memang tak selalu seragam.
Bukan hanya masalah waktu, tapi juga terkait dengan tujuan dan hati.

Sejak pertama kali ku lihat kamu, hal yang paling mendalam yang aku rasa adalah kejujuran., kecerdasan, dan kehangatan.
Kini, pun sama, tapi seribu kali lebih dalam dan lebih lembut.
Hubungan antara kamu dan aku adalah hal paling indah dalam hidupku.
Sesuatu yang paling mengesankan dalam hidup.
Dan akan selalu aku kenang, walaupun hubungan kita memang bukan tentang cinta dan romantisme.
Satu hal mendasar yang mungkin tak mudah untuk diterima, aku akan lebih bisa memposisikan diriku untuk jadi yang terbaik buatmu dalam posisi seperti ini, dimana aku dan kamu menjadi cermin untuk satu sama lain, dimana kamu bisa menjadi kakak, sahabat, dan pembimbingku.
Bukan aku menyepelekan cinta, tapi aku bisa jauh lebih nyaman dan dekat dengan kamu dengan keadaan seperti ini.

Biarkan aku. Biarkanlah aku berkubang dalam sukmaku.
Semua akan lebih baik pada waktunya.

Kamu harus percaya, akan ada banyak hal terbaik yang dapat aku lakukan untukmu dalam posisi ku seperti sekarang ini.

Bangga dan bahagia ku mengenal kamu.

*for someone out there..

Untuk dimengerti

by on January 24, 2009
Semua jalan itu beralasan. Tapi tak semua diizinkan tau dan mengerti. Apa yang kamu ingin, apa yang aku pilih, memang tak selalu seragam. ...
“Kak, jangan lupa ya, nanti kalau kakak pulang, lewat toko kue itu. Siapa tahu hari ini tokonya buka!”
“Iya, nanti kakak lihat. Jangan nakal ya di rumah. Jaga ibu. Kakak berangkat..”
Lagi. Ini terjadi seperti biasanya. Celotehan lugu adik-adikku dibarengi dengan sinar matanya yang berbinar-binar, celotehan itu yang mengiringi ku tiap pagi.
Siang ini panas sekali. Matahari mungkin sedang tak mau tertawa. Atau mungkin sedang kesal karena makin pekatnya polusi di udara yang membuatnya sesak napas.
Dari satu tempat ke tempat lain aku berjalan. Bermodal karung dan besi yang salah satu ujungnya tajam, aku mencari uang.
Sampai sore begini, tak banyak yang kudapat. Hanya kaleng, kardus dan botol-botol plastik yang jumlah nya tak banyak. Setelah dari tempat pengumpul di pinggir kali sana, aku pulang.
Tajam aku menatap gubuk di depanku. Sudah tak layak huni. Bentuknya tidak simetris. Sarat akan air mata dan rintih saat perut sudah tak bisa diajak kompromi.
Aku masih terdiam di tempat ku sekarang. Tak berani aku pulang. Belum siap aku menatap wajah adik-adikku jika mereka menanyakan soal kue mahal itu.
Tapi waktu memaksaku. Sudah lewat maghrib. Mau tak mau aku harus pulang.
Baru aku membuka pintu gubuk itu, adik-adikku langsung berlari ke arahku.
Mereka diam sebentar, memandangi aku.
Dan dengan tatapan kecewa, mereka berkata, “Toko nya tutup lagi ya kak?”
“Iya. Mungkin mereka lagi di luar kota. Jadi belum buka sampai sekarang.”
Ah. Aku yakin mereka bosan dengan alasan itu. Tapi mau apa lagi, aku bukan orang yang pandai bermain kata.
Ibu tersenyum. Ibu tau pasti alasan ku. Matanya lembut memandang ku. Aku tau maksud tatapan itu. Ibu pasti berkata, “Seandainya ibu bisa, ibu bantu kamu, nak..”.
Ibu sudah tua. Tangan nya tak kuat lagi memegang sikat, mencuci baju tetangga. Aku tak akan biarkan ibu ikut banting tulang. Aku tak mau ibu kelelahan, sakit-sakitan dan akhirnya menyusul Bapak.
Dari 3 adikku, hanya satu yang sekolah. Dan untuk membiayai satu anak pun, kadang aku harus bekerja ekstra, mati-matian untuk bayar SPP tiap bulannya.
“Kak, minta uang dong. Kita belum makan..”
Aku merogoh kantong, hanya ada 5 ribu.
“Beli 4 roti ya. Yang seribuan aja..”
Aku mengalah. Memilih korbankan perutku. Aku harus menabung tiap hari untuk biaya sekolah adikku.
Aku berjalan ke dapur. Minum sebanyak-banyak nya agar perutku penuh. Tak mengenyangkan, tapi paling tidak, memenuhi perutku.
Hari masih gelap. Aku bangun, solat, dan siap-siap berangkat.
Lagi, adikku yang terkecil lari ke arahku dan membisiki ku, “Jangan lupa ya kak.. Adek pengen brownies..” Dia tersenyum manis sekali. Dan senyumnya meruntuhkan semua pertahanan di jiwa ku.
Langkah kaki ini makin berat. Tak berhenti aku berpikir, bagaimana bisa aku dapat brownies untuk adik-adikku? Tak akan cukup uang ku..
Ketika matahari tepat berada di atas kepala, aku memilih istirahat di sebuah gardu terbuka di pinggir sawah sana.
Beberapa menit aku duduk mematung disana. Pikiran ku kosong. Aku bingung, apa yang harus lebih dulu aku pikirkan.
Tiba-tiba sebuah mobil berhenti tepat di depan sini. Seorang gadis cantik turun dan langsung duduk di sebelahku.
“Hai”.
Sempat aku bingung, apa dia menyapa aku?
Aku celingukan kanan kiri, dan dia tertawa.
“Hey.. aku ngomong sama kamu..”
“Oh. Maaf..” aku cengar-cengir.
“Cape banget kayaknya. Sudah makan?”
Aku nggak menjawab. Hanya menggelengkan kepala.
Dia bangun dari duduknya. Buka pintu mobil, dan kembali dengan membawa sebuah kotak persegi panjang.
“Ayo di makan..”
Aku perhatikan bentuk kuenya. Warnanya coklat. Lembut teksturnya. Setelah aku lihat bungkusnya, tulisan besar berwarna coklat membuat ku terbelalak, “BROWNIES KUKUS”.
Waw! Betapa senangnya aku! Ternyata ini kue mahal yang diminta adik-adikku.
Aku ambil sepotong. Ketika kue itu sampai di mulutku, wah…enak sekali. Baru pertama aku makan kue seenak ini. Pantas adik-adikku selalu minta dibelikan ‘si coklat’ ini sejak 4 bulan yang lalu.
Ada suara hand phone berbunyi. Buru-buru gadis itu mencari Hp nya.
Entah apa masalahnya, mukanya berubah drastis. Dia tampak terburu-buru.
“Mmm. Sorry, aku harus pergi sekarang. Brownies nya ambil aja buat kamu!” sambil senyum dia pergi.
Apa? Brownies nya untukku?? Waw! Aku langsung terbayang ekspresi bahagia adik-adikku di rumah. Mungkin dia akan bilang, “Wah.. ini coklat semua ya?” atau “Kok bisa seenak ini ya, kak?”
Wah. Girang tak terkira aku hari ini!
Semangatku terpacu. Tak ingin menunda satu detik pun kebahagiaan untuk adik-adikku, aku berjalan cepat ke tempat pengumpul. Urusan selesai, dan aku beranjak cepat pulang ke rumah.
Aku berjalan seperti melayang, tak ada beban kali ini. Aku terus berjalan sambil tersenyum membayangkan teraik gembira adik-adikku menyambut brownies nya.
Tiba-tiba, BRAKKKK!!
Motor ugal-ugalan menabrakku dari belakang! Aku jatuh tersungkur. Dan malang, aku tak bisa menyelamatkan brownies nya. Brownies itu terbang, dan jatuh ke selokan di pinggir ku.
Agh!! Aku ingin marah! Motor itu tancap gas!
Kali ini aku hampir tak sanggup bangun. Ini lebih berat dari beban langkah ku tadi pagi.
Kini, muram ku datang lagi.
Berjalan lunglai, aku pulang.
“Assalamualaikum…”
Ke tiga adikku menoleh dan langsung menghampiriku dengan senyum terbaik mereka, berharap aku pulang membawa brownies yang sudah lama mereka minta.
Aku diam.
Mata mereka bergerak cepat meneliti tiap bagian dan celah yang ada padaku. Tiba-tiba mata berbinar itu mulai redup satu-satu. Senyum manis yang tadi sekejap hilang. Aku bisa lihat jelas, mereka kecewa. Tapi sama sekali mereka tak menyalahkan aku. Mereka hanya diam.
Dengan ekspresi kecewa, satu demi satu dari mereka membalikkan badan, berjalan kembali ke tempat masing-masing, seperti tadi sebelum aku pulang.
Aku menelan ludah. Menghela napas panjang. Lutut tak mampu lagi menopang tubuhku. Aku mulai jatuh perlahan, seiring dengan jatuhnya air mataku. Lekat ku tatap ke tiga adikku. Dengan seluruh sisa kekuatan, aku mendapat alasan lain, “Toko kue nya sudah pindah, dek…”

Brownies

by on January 10, 2009
“Kak, jangan lupa ya, nanti kalau kakak pulang, lewat toko kue itu. Siapa tahu hari ini tokonya buka!” “Iya, nanti kakak lihat. Jangan naka...
Aku kangen kota ini.
Kota dimana aku ngelihat dunia untuk pertama kali. Kota yang jadi sebuah pendahuluan dalam narasi hidupku. Memberikan aku banyak kenangan yang tersimpul indah dan nggak akan kusam seiring mengalir nya waktu.
Sebuah kota kecil di tengah Provinsi Lampung, Metro.
Di seberang lapangan sana ada bangunan bercat putih dan kusen kayu berwarna biru. Itu SD ku dulu. Bekal pertama hidupku, warna-warni masa kecilku, tempat aku meletakkan sebagian kecil mozaik hidupku.
Bangunan itu nggak banyak berubah, tapi jelas sekarang jauh lebih bagus daripada dulu.
Lapangan besar yang tepat ada di depan ku, seperti nggak mau kalah menggali ingatan ku kembali ke 6 sampai 7 tahun ke belakang.
Aku bersiap. Memegang kencang pemukul kasti sambil menajamkan fokus mataku ke arah bola. Bola itu datang! Aku ayunkan pemukul sekuat-kuatnya hingga bola itu melambung jauh. Teman-teman di tim lain berlari-lari mengejar bola.
Aku menyunggingkan senyum, dan segera berlari hingga akhirnya kembali ke tempat semula.
Semua teriak. Senang. Tertawa bersama sambil lompat-lompat kecil.
Bahagia nya sama seperti menang hadiah undian mungkin.
Aku merasakan semua itu. Dan rasa-rasanya baru kemarin itu terjadi..
Ada satu hal menarik disini. Dulu, di bawah pohon tempat ku berdiri sekarang, ada bangku kayu panjang. Bangku itu seperti diary alam yang mau nggak nggak pernah mengeluh menampung semua isi hati aku dan teman-teman. Banyak coretan-coretan kita di bangku itu. Misalnya, ‘Viani love mbee’, ‘3 girls x siempre’ atau ‘STW.. santei waeee’ , dan masih banyak banget yang lainnya.. Sayang bangku itu sudah nggak ada sekarang.
Tapi, pohon jarak ini, masih berdiri kokoh disini. Aku yakin pohon ini senyum ngeliat aku balik kesini. Aku bernostalgia bareng pohon jarak, menikmati sore sambil membuka kotak kenangan di indah masa kecil sebelum akhirnya aku pergi meninggalkan kota ini.
Kota ini masih kaya dulu, cantik, nggak agresif, tapi dinamis.
Tempat aku pertama kali bermimpi, pertama kali berangan-angan. Sejauh apapun pergi, aku akan junjung tempat ini. Ini bagian dari jiwaku, separuh hidupku, yang menyimpan banyak kisah dalam perjalananku.
Lagi, aku tatap semuanya. Dan aku tau, aku sangat cinta kota ini. Tempat dimana matahari masih ramah menyapa, bulan masih mau tertawa, dan angin sepoi yang bertiup tanpa marah.
Aku melangkah pelan, diiringi hujan bunga yang berjatuhan dari pohon flamboyan dan kilauan matahari senja.
Ku tatap sekali lagi, aku akan merindukan kota ini..

kangen kampung

by on January 10, 2009
Aku kangen kota ini. Kota dimana aku ngelihat dunia untuk pertama kali. Kota yang jadi sebuah pendahuluan dalam narasi hidupku. Memberikan ...
Aku bukan orang yang bisa menumpahkan semua yang aku rasa. Malah kadang, aku bingung harus ku analogikan dengan apa.
Tak banyak yang akan kamu ketahui, tapi jauh di dalam hati, kamu akan menemukan begitu banyak rasa yang memang sengaja tidak aku umbar. Tak perlulah kamu tau semuanya. Cukup kamu nikmati caraku mencintaimu.
Ikuti, dan perhatikan. Suatu saat, kamu akan terbiasa, dan akhirnya kamu akan tau caraku mencintaimu.

Caraku cinta kamu

by on January 10, 2009
Aku bukan orang yang bisa menumpahkan semua yang aku rasa. Malah kadang, aku bingung harus ku analogikan dengan apa. Tak banyak yang akan k...
Aku selalu bertanya, ‘apa kamu bohongi aku?’. Dan kamu selalu jawab ‘tidak’.
Sesungguhnya aku yakin bahwa jawabannya ‘iya’.
Di rintik hujan siang ini, aku menunggu kamu di depan gardu. Aku tunggu kamu. Kamu tak kunjung datang, padahal sudah hampir satu jam aku menunggu.
Akhirnya kamu datang. Kamu melihat ku dan aku menghampirimu. Kamu tak bicara banyak, singkat, jelas, tapi kurang padat. Intinya hanya untuk membela dirimu. Lagi, aku bertanya, ‘apa kamu bohongi aku?’, jawaban mu tetap setia pada kata ‘tidak’. Aku marah sambil memaksamu jujur dan berkata ‘iya’. Aku tahu kamu bohong. Tapi aku diam dan pura-pura tidak tahu. Selalu begitu. Dan aku tahu bahwa kamu tahu. Kamu tahu aku pura-pura tidak tahu. Tapi tetap, kamu masih berkata ‘tidak’.
Kita duduk bersama di puncak bukit. Duduk dan nikmati keadaan. Aku bicara padamu tentang banyak hal. Tentang lebah yang terbang bergerombol, tentang daun yang mulai gugur, tentang awan yang mulai bergulung, tentang semua yang kita alami, tentang semua yang kita rasakan, tentang aku, kamu, dan dia. Juga tentang burung elang yang tiba-tiba meliuk indah di depan kita. Burung itu berputar-putar. Terbang tak jelas arahnya. Kita berdua terpukau. Kamu tampak begitu kagum melihat gerakan indah burung itu. Tiba-tiba kamu marah. Kamu marah karena baterai kameramu habis, kamu tak bisa mengambil gambar indah itu. Seperti biasa, aku bertanya, ‘apa kamu marah?’. Dan kamu ucapkan lagi kata membosankan yang tak pernah lepas darimu, kamu jawab ‘tidak’. Kamu bohong lagi. Aku bisa rasakan benar kekesalanmu. Aku yang selama satu tahun ini menemani hatimu, sudah cukup mahir menangkap rasa dari ekspresi dan gerakmu. Kamu sebenarnya tak bisa menutupi apapun dariku. Tapi kamu terlalu menganggapku polos, lugu, dan bodoh. Kamu pikir, aku hanya anak kecil yang mengangguk dan kagum pada tiap dongengmu. Masalah kecil seperti ini saja, kamu tak mau jujur. Itulah kesalahan fatal buah dari sikap sepele mu padaku.
Untaian nada indah yang mengalun dari telepon genggam ku memecah suasana. Kita bernyanyi bersama. Kau ucapkan dengan jelas tiap lirik lagu itu.
“Aku memujimu hingga jauh. Terdengar syahdu ke angkasa. Rintihan hatiku memanggilmu. Dapatkah kau dengar, nyawa hidupku…”
Aku menikmati itu. Di lubang-lubang keraguanku padamu, aku cukup terhibur dengan kata-kata itu.
Aku mulai bicara serius. Membongkar tiap ragu ku padamu.
Dan seperti biasanya, kamu jawab ‘tidak’. Dan seperti biasa pula, aku yakin bahwa sesungguhnya adalah ‘iya’.
Kamu antarkan aku pulang, mengantarku sampai depan rumah seperti biasanya. Tapi, ada yang beda kali ini. Kamu tidak mengacak-acak rambut ku. Biasanya tidak begitu. Tapi sudahlah, kali ini aku sedang malas mendengarmu berkata ‘tidak’, lebih baik aku tak bertanya.
Aku buka friendster mu sebelum tidur. Secara tak sengaja, aku buka friendster mantan pacar mu. Dan tanpa di duga, itu menjadi awal retak nya aku. Ternyata, selama ini kamu sayang dia. Kamu tulis, dia yang bisa menjanjungmu, dan hanya dia satu-satunya orang yang ada untuk mu di saat kamu rapuh.
Ah. Sakit hati ini.
Pagi ini, kamu menjemputku. Kita duduk sambil minum teh di halaman rumahku. Aku bertanya padamu, ‘apa kamu bohongi aku?’. Tanpa berpikir sedikit pun, kamu bilang ‘tidak’. Aku bertanya lagi, ‘apa kamu bohongi aku?’. Dan lagi, kamu jawab tidak. Aku mengulang pertanyaan yang sama sekali lagi, dan kali ini kamu sedikit bergeming. Mungkin kamu baru sadar ini pertanyaan serius. Dengan muka merah dan bibir yang mendadak menjadi gagap, kau tetap keras kepala dan menjawab ‘tidak’.
Tiba-tiba seluruh isi rumah seperti menjadi hidup. Mereka tak terima dengan kebohongan mu. Terakhir kamu bilang ‘tidak’, seisi rumah dengan kencangnya dan penuh emosi, berteriak tanpa batas volume di telingamu, mengatakan ‘IYA’.
Kaupun malu. Tapi tetap saja, kau ringan menghadapiku. Kini aku sadar satu hal, kau sebenarnya tak tahu malu. Innocent. Dan aku tak suka itu.
Aku resapi semuanya. Ketika ‘iya’ dan ‘tidak’ menjadi sebuah dilema yang tak terpecahkan, bayang ilusi yang biasanya selalu tak mau tahu dan memilih untuk tak ikut bicara, akan memecahkan semuanya. Menghadirkan realita yang kita tak tahu sebab dan latar belakang nya.
Aku bertanya, ‘apa kamu bohongi aku?’, tapi kamu tetap menjawab ‘tidak’, walaupun realita, fakta, dan logika tak satupun ada yang berpihak pada pendapatmu.

Iya dan Tidak

by on January 07, 2009
Aku selalu bertanya, ‘apa kamu bohongi aku?’. Dan kamu selalu jawab ‘tidak’. Sesungguhnya aku yakin bahwa jawabannya ‘iya’. Di rintik huja...
Tidak terdefinisi.
Lebay nya, aku udah cari di semua buku. Kamus, puisi, filsafat, nggak ada satupun di dalamnya yang bisa mendefinisikan kamu di hidup aku.
Semuanya ada di kamu. Ngeselin, nyebelin, tukang marah-marah. Yang nggak pernah bisa nerima pendapat aku, yang overprotective, yang suka ngomel.. pokoknya semua nya ada di kamu.
Tapi, di balik itu semua, perhatian dan sayang kamu gede banget buat aku. Mungkin aku terlalu acuh, sampe aku nggak bisa ngeliat sayang nya kamu ke aku. Mungkin aku yang nggak pernah ngasih kesempatan buat kamu tunjukkin semua itu, aku terlalu sibuk cari alasan, cari alibi untuk ngejawab tiap omongan mu, untuk nutupin salahnya aku. Atau mungkin juga kamu yang terlalu gengsi untuk nunjukkin itu. Bisa juga, kita berdua terlalu egois, terlalu menutup diri. Itu masalah yang sampe sekarang bikin kita selalu beda pendapat dan nggak pernah sepakat. Kita yang selalu pertahanin prinsip ‘I’m right, and you are wrong’. Entah kenapa masing-masing dari kita nggak pernah mau menanggalkan prinsip itu.
Apa kamu sadar, kita beda dari yang lain. Cuma kita kan yang tau gimana hubungan kita selama ini? Kita nggak pernah bermanja-manja, sharing, atau sekedar ngucapin ‘selamat tidur’ di waktu malem. Kamu ya kamu, aku ya aku. Masing-masing, sedikit komunikasi.
Tiap kamu ada, kita selalu berantem yaa.. Sepele, masalah makanan, beda pendapat ketika comment acara TV, masalah shampoo, sabun, kadang masalah baju.. Bahkan bukan nggak mungkin suatu saat kita bisa berantem cuma gara-gara semut.
Tapi jujur, aku kangen. Aku kangen denger omelan kamu, kangen liat ekspresi marah mu, kangen denger kamu bilang ‘Jangan!’ atau ‘Nggak boleh!’.
Kamu nggak pernah tau, gimana paniknya aku ketika kamu sakit, kamu nggak pernah tau gimana gemuruhnya hati aku tiap mata kamu menatap tajam tepat ke arah bola mata aku, kamu nggak pernah tau gimana khawatirnya aku tiap kamu lembur sampe tengah malem, kamu juga nggak pernah tau kan gimana perasaan aku ketika kamu peluk aku? Ketika sesekali kamu selimutin aku saat aku udah tidur.. Yaa..bukan salah mu kalo nggak tau. Aku memang nggak pernah tunjukkin semua itu kan? Aku terlalu gengsi untuk itu.
Dalam pandangan aku, kamu memang nggak sempurna. Someday, aku nggak mau jadi seperti kamu. Aku harus jauh lebih baik dari kamu. Biar kamu bangga sama aku.
Kamu nggak sempurna, tapi kamu yang buat hidup aku jadi sempurna.
Aku selalu sayang kamu. Dan segala bentuk yang aku rasain bener-bener nggak terdefinisi.
Sekarang, saat aku sendiri, kamu jauh, aku kangen.
Pengen rasanya aku peluk kamu erat-erat. Cium kamu. Dan bilang, ‘kamu orang terhebat di hidup aku’.

“Aku mendengar nama ku di sebut dalam doa mu.. Kamu yang mengangkat aku ketika semua orang menjatuhkan aku.. Kamu yang ngasih aku kekuatan untuk maju dan berlalu .. Kamu selalu jadi bagian dari tiap hal yang aku kerjakan..”

Dengan air mata kangen yang menetes untuk kamu,
Dengan segenap sayang dan cinta buatmu yang kamu nggak pernah tau,
Dan dengan segala tunduk dan simpuh aku,
From the bottom of my heart, with no doubt ..
Vian Sayang Ibu..

*miss u so..

Tidak terdefinisi

by on January 03, 2009
Tidak terdefinisi. Lebay nya, aku udah cari di semua buku. Kamus, puisi, filsafat, nggak ada satupun di dalamnya yang bisa mendefinisikan k...
Ada saat dimana aku bisa begitu mengerti keindahan.
Saat aku duduk menyepi di atas bukit, dan ngeliat begitu indah dan sempurna nya segala sesuatu yang sebenernya ‘complicated’ dan ‘crowded’ di bawah sana, aku menghela napas panjang.
Aku belajar sesuatu. Nggak ada yang diciptakan tanpa keindahan. Segala sesuatu yang ada mustahil kalo nggak ada indah di dalemnya. Banyak kemungkinan. Mungkin indahnya sesuatu itu di sembunyikan, sengaja ngumpet. Atau kita yang nggak bisa ngeliat keindahan itu.
Nggak bisa dipungkiri, kita, jelas termasuk aku, terlalu sibuk menilai segala sesuatu dengan sebelah mata, sekejap, dan langsung tarik kesimpulan tanpa mau ‘cek n ricek’ lebih lanjut.
Semua punya indah masing-masing. Bukannya baru tahu, tapi aku baru membuka mata.

Baru sekarang

by on January 02, 2009
Ada saat dimana aku bisa begitu mengerti keindahan. Saat aku duduk menyepi di atas bukit, dan ngeliat begitu indah dan sempurna nya segala ...

My Blog List