Kepadamu yang kutitipkan seluruh harapan,
jatuh cinta butuh pertanggungjawaban;
dan menunggu rasanya tak pernah sebercanda itu.

Pendek

by on March 30, 2017
Kepadamu yang kutitipkan seluruh harapan, jatuh cinta butuh pertanggungjawaban; dan menunggu rasan ya tak pernah sebercanda itu .
Denting piano, kala jemari menari
Nada merambat pelan
Di kesunyian malam saat datang rintik hujan

Sarapan pagi di Punclut bersama Ibu; selain banyak drama, banyak juga belajar.
Oya, Punclut banyak berubah. Lahan kosong untuk sekedar duduk sambil liat city view nggak lagi ada; ada sih, tapi nggak lagi semenarik dulu. Sayang saya nggak sempat ambil gambar, keburu drama sama Ibu dan nggak mungkin lagi balik untuk sekedar foto.

Ya mungkin banyak drama karena sama-sama laper. Mampir warung nasi timbel dan nemu sayur genjer enak banget.

Bersama sebuah bayang
Yang pernah terlupakan

Suasana mulai cair setelah perut ada isinya.
Jalan balik ke mobil yang di parkir nun jauh di Dr. M. Salamun banyak tersendat karena Ibu sering ‘nyangkut’ di kanan kiri. Punclut di minggu pagi adalah muara dari orang olahraga dan orang belanja.
Layaknya pasar minggu pada umumnya, kanan kiri jalan penuh sama dagangan, mulai dari sayur, baju, tanaman, sampe agen perjalanan umroh & haji; tempat-tempat yang sebenarnya sebisa mungkin saya hindari karena nggak tahan sama crowd-nya.

 

Emang kali sayur genjer bisa banget bantu bikin otak berpikir sehat.
Kalau nggak dinikmati, mau apalagi? Setelah seperempat perjalanan saya habiskan dengan muka kelipet, akhirnya saya start over dengan muka dan perilaku baik-baik.

Hati kecil berbisik untuk kembali padanya
Sribu kata menggoda
Sribu sesal di depan mata
Seperti menjelma
Waktu aku tertawa, kala memberimu dosa

Lagi. Aduh.
Saya kayak nggak bisa cari topik selain bersyukur.
Beli seikat besar daun singkong harga 2,500, ditawar Ibu jadi 2,000. Sedih sih.
Ibu pemegang teguh prinsip ‘nggak bakal dijual sama pedagangnya kalo dia rugi’; walaupun di banyak sisi, Ibu seringkali beli sesuatu hanya karena pedangannya sudah tua atau dagangannya kelihatan nggak laku-laku. 


Beli 1 lot (apadeh satuannya) peniti kecil, isi 12, dengan harga 1,000; dimana kalo beli di Mall harganya 10,000 untuk kira-kira isi 20an. 


Sadar nggak sadar sih, kita, eh saya, sering ngegampangin hal-hal semacam itu; ‘udalah, berapa sih’, yang bagi orang lain bisa jadi sama sekali nggak ‘udalah’.
Jual peniti 1,000, untungnya berapa rupiah?
Jual sayur 2,000, cape ngurusnya sampe panen berapa rupiah? Upah kepanasannya berapa rupiah?
Disisi lain, kita bisa kira-kira sendiri berapa besar biaya anak sekolah, beli makanan setiap hari buat 1 keluarga, bayar listrik – bayar kontrakan, apalagi kalo sakit, atau anaknya minta beli mainan karena liat temen-temennya punya.
Okay, nggak masuk akal.
But they do exist. They live, deal with it.

Oh, maafkanlah

Sebelum mulai nyanyi lagu Iwan Fals, ada pengamen yang cukup sopan nyodorin amplop putih disetiap kumpulan orang yang sedang makan lesehan. ‘Saya ngamen untuk biaya anak sekolah’, kira-kira poinnya begitu, ditulis di bagian depan amplop.
Sepenuhnya karena Dialah otak saya berangsur sehat dan tulisan ini muncul.

Rasa sesal di dasar hati diam tak mau pergi
Haruskah aku lari dari kenyataan ini

Kecilmu mungkin adalah seluruh yang mereka butuh.
Jangan lupa zakat dan sedekah.

Pernah ku mencoba tuk sembunyi, namun senyummu tetap mengikuti

Minggu

by on March 20, 2017
Denting piano, kala jemari menari Nada merambat pelan Di kesunyian malam saat datang rintik hujan Sarapan pagi di Puncl...

My Blog List