Ini masih bagian dari permainan. Terjal berjalan dan telusur tanpa tahu.
Entah kapan ini berakhir. Aku seperti hilang. Ruang waktu yang menarik jauh dari kerajaan jiwaku.
Aku tereduksi menjadi aku yang tak tahu apa-apa. Berjalan bingung yang akan berakhir di titik lelah dengan satuan derajat negatif.
Suatu hari, aku pernah bermimpi. Dia akan menuntunku. Menggandeng ku dalam gelap, dan menyelimuti ku saat terlelap. Kita berjalan bersama di tengah kabut tebal yang akan membuat ku takut. Dan dia berkata “jangan takut, ada aku disini.”
Tiba-tiba aku terjatuh, sakit, dan mulai membuka mata.
Kelak, saat angan itu melambung terlalu tinggi, satu hentakan waktu menyadarkan mu. Hentakan yang menghentak seluruh batinmu hingga kamu berpikir realistis dan berpegang pada logika.
Pada akhirnya, kamu akan mengerti seribu alasan kenapa kamu terlepas dan hilang kendali.

not too bad

by on November 23, 2008
Ini masih bagian dari permainan. Terjal berjalan dan telusur tanpa tahu. Entah kapan ini berakhir. Aku seperti hilang. Ruang waktu yang mena...
Kamu sempurna.
Caramu meminum kopi. Sempurna.
Caramu berjalan. Sempurna.
Caramu memegang setir. Sempurna.
Caramu berpikir. Sempurna.
Kamu sempurna.
Bahkan semua sifat burukmu. Sempurna.
Kamu perlakukan aku dengan sempurna.
Kamu buat aku tersenyum dengan sempurna.
Kamu lukai aku dengan sempurna.
Dan ketika kamu menghilang tanpa jejak, sempurna.
Tanpa ada keraguan, kamu sempurna.

sempurnaa

by on November 23, 2008
Kamu sempurna. Caramu meminum kopi. Sempurna. Caramu berjalan. Sempurna. Caramu memegang setir. Sempurna. Caramu berpikir. Sempurna. Kamu se...
Pikirkan dalam kosong
Tatap dalam gelap
Katakan dalam hati
Lakukan dalam diam
Hancurkan tanpa gaduh
Dan tinggalkan tanpa kembali

Yap

by on November 23, 2008
Pikirkan dalam kosong Tatap dalam gelap Katakan dalam hati Lakukan dalam diam Hancurkan tanpa gaduh Dan tinggalkan tanpa kembali
Kau meninabobokan aku. Membawaku hanyut dalam untaian mimpi penuh warna. Kau ceritakan aku euforia indah kehidupan. Membawa ku dalam tiap kisahmu, hingga aku menjadi alur ceritamu. Dan aku menikmati itu. Menikmati itu semua dan berharap satu detakan waktu takkan membangunkanku.
“Aku kangen mama..” Lidahku berucap tanpa perintah. Dan sepakat, air mata ini menetes pelan dan mengalir di pipiku.
Mama. Sosok wanita yang harusnya paling aku sayang, yang harusnya ada dalam pergantian waktu ku beranjak dewasa, yang seharusnya mengurusku, kini tak tahu ada dimana. Papa mama sering bertengkar. Dan intensitas bertengkar mereka meningkat sejak papa mulai bangkrut. Mereka bertengkar, berteriak, saling menarik otot, berpersepsi demi alibi, seperti tak akan pernah terucap kata sepakat. Esok harinya mama pergi entah kemana, tak ada kabar hingga hari ini.
Mereka terlalu fasih mengucap kata ‘sayang’, sampai-sampai tak ada makna berarti lagi yang dapat ku tangkap dari rangkaian huruf-huruf itu. Bagiku sekarang, kata ‘sayang’ hanyalah basa-basi, kata tanpa isi yang tak berbobot. Ah..aku benci mengingatnya.
Jam dinding di kamar menunjukkan pukul 01.30 pagi. Hingga detik ini, mataku belum mau menutup, seakan ada batang korek mengganjal dan tak bisa di lepas.
Ku buka selimutku, bangun dari tempat tidur, dan buka pintu. Sepi. Rumah ini memang selalu sepi. Aku berjalan menuju teras.
Baru sampai di ruang tamu, mataku lekat menatap seseorang tertidur pulas di kursi kayu tua sebelah pojok ruang tamu. Lelaki itu tak asing bagiku. Hasil perasan keringatnya yang selama ini membesarkan aku
Sebelumnya aku tak pernah selekat ini menatapnya. Aku tak pernah peduli, tak mau peduli, menjadi brutal dan tak terkendali semenjak keluarga ini pecah.
Aku segera berlalu dari tempat itu. Duduk di teras dan bongkar semua isi hati. Hati ku menghentak dan teriak. Hati ini hampa, lenyap, dan mulai binasa. Aku mencoba menariknya, tapi terhembus lalu terlepas. Hati ini sulit ku kendalikan.
Lirih gerutu ini, “Mereka anggap apa aku?”
Mungkin aku terlalu cengeng, tak siap dengan kuatnya ombak yang selama setengah tahun ini menerjang dan mengikis ku sedikit demi sedikit, hingga yang tersisa saat ini hanya tinggal kepingan kecil yang rapuh dan hampir roboh.
Terakhir, sebelum mama pergi, aku berteriak ‘aku benci mama!’dan yang ku tahu mama menangis. Dalam diam aku tak peduli lagi. Mama egois! Sebelas – dua belas dengan papa. Mama pergi, dan saat itu kulihat sebuah sedan mewah menantinya di depan rumah.
Semenjak kejadian itu, aku dan papa sama sekali tak pernah membicarakan mama. Kami sama-sama tahu, itu hanya akan membuka kembali luka yang susah payah kami kubur.
Angin malam mulai masuk ke tubuhku. Menyelinap lewat celah pori dan akhirnya dingin ini menusuk tulangku.
Di saksikan oleh semesta malam, aku menangis. Aku lepaskan tangisan ku. Satu hal yang baru kusadari, aku tak bisa membenci mama ataupun papa. Seringkih apapun jiwa ku saat ini, aku tetap sayang mereka. Dan saat ini, ku rasakan benar bisikan lirih yang ingin di dengar, rintihan hati yang tertunduk pilu entah karena malu atau rindu, aku kangen mama…
Dingin semakin menjadi. Aku putuskan kembali ke kamar. Sejenak aku mematung di depan papa yang tertidur pulas di kursi kayu itu. Aku cium kening papa. Dan gejolak itu kembali muncul. Linangan Air mata ini mulai mengalir. Sebelum semakin menjadi dan tak terbendung, aku beranjak dari diam ku.
Sengaja matikan lampu kamar, tutup pintu, dan rebahkan tubuh di atas kasur kapuk.
Hatiku mulai tenang, gejolak itu mulai berlalu, lepas, dan tak lagi penuh emosi. Malam ini aku ingin mama disini. Aku sungguh kangen mama.
Sisa air mata tadi belum selesai menetes. Setetes..setetes..dan setetes lagi. Aku mencoba redam semua nya. Pejamkan mata dan berharap semua akan membaik.
Ketika mata ini terpejam, aku merasa dekat dengan mama..
Aku terlelap dan semakin dapat rasakan semua nya.
Kau meninabobokan aku. Membawaku hanyut dalam untaian mimpi penuh warna. Kau ceritakan aku euforia indah kehidupan. Membawa ku dalam tiap kisahmu, hingga aku menjadi alur ceritamu. Dan aku menikmati itu. Menikmati itu semua dan berharap satu detakan waktu takkan membangunkanku.

Kangen

by on November 23, 2008
Kau meninabobokan aku. Membawaku hanyut dalam untaian mimpi penuh warna. Kau ceritakan aku euforia indah kehidupan. Membawa ku dalam tiap ki...
Aku menemukan secuil sudut pandang berbeda dari kehidupan kota ini. Aku berjalan-jalan sendiri, menikmati pemandangan malam jalanan kota yang sebelumnya belum pernah aku lihat. Sekarang, tepat pukul 00.30. Diluar sini semuanya berbeda. Inilah kehidupan yang sesungguhnya. Keras, penuh ancaman, puncak bahaya jika tak waspada.
Aku berhenti dan duduk di sebuah trotoar pinggir jalan. Aku amati semua yang terjadi di depan mataku. Sekelompok anak muda yang mengemudikan mobil sambil mabuk. Mobil itu jalan semaunya, seperti tak punya arah. Ku tebak, mereka pasti baru saja pulang berjoged di suatu tempat yang berisik dan lampunya kedap-kedip, mereka bilang itu clubbing. Ah, orang-orang tak jelas. Membuang uang hanya untuk berjoget dan menjadi tak waras setelah minum minuman keras. Apa untungnya?
Ku alihkan pandangan. Bola mataku diam terpaku melihat sebuah warung kopi kecil di seberang jalan sana. Aku tertarik. Mereka tampak serius dengan kartu gaple nya masing-masing sambil sesekali menyeruput kopi kental yang pastinya sudah tidak panas lagi. Setelah kartu di lempar, ada yang tertawa keras, dan ada juga yang menekuk wajahnya. Klise. Sebuah pemandangan yang mudah di jumpai di Indonesia setiap saat. Mereka hanya bergantung pada dewi fortuna nya. Untung jika nasib sedang baik, dan rugi terus-menerus jika nasib buruk tak kunjung mau pergi meninggalkan. Itulah dinamika hidup. Kadang, kita harus berani bertaruh, walaupun hasilnya tak pasti. Hidup adalah tantangan yang harus kita hadapi, walaupun kadang hanya dengan modal nekat.
Aku beranjak dari tempat dudukku. Berjalan mengikuti kemana kaki ingin pergi. Aku menikmati tiap sudut kota ini. Bangunan-bangunan indah yang bernilai seni tinggi berhiaskan cahaya lampu warna-warni seakan lebih hidup dan menceritakan kisahnya masing-masing. Kota ini semakin indah jika malam. Lampu-lampu hias kota yang berkedap-kedip warna-warni menghasilkan sebuah panorama malam yang indah. Dan suasana malam ini semakin dipercantik oleh sang dewi malam yang menampilkan segala pesonanya, bulan bundar itu tampak lebih terang dari biasanya. Aku menikmati semua ini. Benar-benar menikmati.
Aku berjalan ke arah pertokoan. Agak sepi disini. Tak terlalu banyak lampu.
Langkah ku mendadak berhenti ketika melihat banyak orang yang berlari sambil berteriak “maling!!!!”. Rupanya malam ini adalah malam yang buruk untuk si maling. Hanya ada dua kemungkinan untuknya, lolos dan bisa makan, atau tertangkap, babak belur, dan menikmati hunian gratis di penjara.
Aku tak terlalu ambil pusing dengan hal seperti itu. Itu hal yang biasa terjadi di kota besar. Aku tak mau ikut campur.
Kaki ini kembali membawaku berjalan. Menikmati seni kehidupan malam yang indah dan tak ada aturan.
Belum jauh berjalan, aku melihat sebuah pemandangan yang miris.Di depan sana, puluhan gelandangan tidur nyenyak di emperan toko. Mereka banyak sekali. Tidur berdesakan. Hanya beralas koran dan selimut karung. Aku lebih mendekat. Sambil berjalan, aku amati wajah mereka. Tergambar jelas wajah-wajah kelelahan. Mereka berjuang untuk bertahan hidup, tak mau kalah dengan kerasnya cambukan kehidupan. Mereka adalah penantang kehidupan, mengarungi lautan hidup dengan jutaan kemungkinan, selamat atau tenggelam karena tak kuat menahan badai. Jujur, aku kagum. Tak banyak orang yang bisa bertahan dengan keadaan seperti ini. Tapi aku percaya, Tuhan tidak diam. Tuhan punya rencana lain untuk mereka yang tak dapat di jangkau logika manusia.
Sisi kehidupan malam tak selalu buruk untuk di ungkap. Kepingan mozaik hidup yang tak selalu bisa di kumpulkan ketika siang, dimana orang sibuk dengan urusannya masing-masing tanpa sempat mengambil makna berharga dari sebuah keadaan. Malam ini indah. Terasa sangat indah untukku. Di bawah langit malam, aku belajar tentang hidup. Tak selalu menyenangkan. Ada bahagia, sedih, takut, dan semuanya. Hidup adalah misteri. Tak bisa di duga-duga. Kita hanya harus banyak belajar dan lebih siap untuk menyingkap makna yang tak pernah tersurat, tapi tersirat.
Malam ini indah. Benar-benar indah. Dan aku menikmatinya.

Malam di Kota

by on November 14, 2008
Aku menemukan secuil sudut pandang berbeda dari kehidupan kota ini. Aku berjalan-jalan sendiri, menikmati pemandangan malam jalanan kota yan...
Dari balik jendela kamarku, ku tatap lekat sosok lelaki itu. Sudah beberapa hari ini, setiap sore, ku lihat dia duduk di halte depan rumah ku. Lelaki itu sudah tua, usianya mungkin sekitar 60 tahunan.
Entah apa yang menggerakkan ku, tiba-tiba saja aku memutuskan untuk keluar rumah, mengamati bapak tua itu lebih dekat.
Aku duduk di halte, tanpa mengeluarkan suara sedikitpun. Lelaki tua itu menenggokkan kepala nya ke arahku dan tersenyum.
Dia mendekatiku dan bertanya, “Sedang apa anak muda?”
Aku gugup, tapi berusaha langsung menjawabnya, “Hanya duduk-duduk saja, Pak.”
Di bawah langit senja halte yang sudah tidak terpakai itu, aku mengamatinya. Wajahnya keras. Tulang pipinya menonjol. Alisnya tebal, dan jenggotnya nampak tak terurus. Dapat kupastikan bahwa dia seorang pekerja keras. Aku amati tangannya, tangan itu tampak kasar. Tapi jauh dibalik itu semua, aku tak melihat ada topeng yang menutupi dirinya, lelaki itu terlihat sungguh tenteram dengan dirinya apa adanya.
Kami tidak banyak berbincang, dan itu membuatku menjadi semakin tertarik untuk tahu lebih banyak tentang lelaki itu. Dari perbincangan singkat ku dengannya, aku yakin bahwa dia bukan orang biasa. Lelaki itu tak banyak bicara, tapi tiap kata yang di ucapkannya memiliki makna yang dalam, yang tak akan bisa di ucapkan dari mulut seorang awam. Isi ucapannya padat berisi, bukan cuma basa-basi.
Sore ini, aku sengaja duduk di halte. Menunggu lelaki tua itu dan berharap aku dapat tahu lebih banyak tentangnya.
Dia datang. Dan kali ini, senyumku yang menyapa nya terlebih dahulu.
“Sore yang indah ya, Pak.” Aku memancing pembicaraan.
Dia menatapku. Dan sambil senyum, dia menjawab, “Indah sekali.”
Dari basa-basi singkat ku itu, kami akhirnya terlibat dalam suatu perbincangan panjang. Perbincangan berbobot tentang hidup yang memaksaku putar otak untuk mengerti apa makna dalam tiap kata itu.
“Saya selalu mencari apa yang saya cari. Dan semua yang saya cari setiap hari berubah. Sampai akhirnya saya sadar, sesuatu yang saya cari bukanlah sesuatu yang ada wujudnya, tapi sesuatu yang abstrak, mungkin kebahagiaan. Tapi, saya tidak menomorsatukan kebahagiaan. Kebahagiaan sebenarnya bisa kita dapatkan hanya dengan memanage sikap dan hati kita. Saya selalu mencoba untuk menangkap apa maunya Tuhan memberikan kemerdekaan hidup untuk saya. Buat saya, hakikat hidup adalah keterbatasan dan ikatan. Dan kehidupan adalah kedewasaan mahluk Tuhan dalam mengetahui keterbatasan-keterbatasannya”
Aku mengangguk-angguk. Seperti mengerti, padahal tidak. Kata-katanya berbobot. Dari kata-katanya, terlihat jelas bahwa laki-laki tua itu mengagungkan kehidupan. Seseorang yang mempertahankan idealismenya sampai mati. Idealisme seorang tua untuk menjadi sesuatu, bukan untuk mempunyai sesuatu. Prinsip hidupnya jelas, dia harus lebih besar dibanding kesedihan, kebahagiaan, dan kesenangan. Kebahagiaannya diperoleh dari bagaimana dia menyikapi apa yang dia miliki. Itu alasannya tidak menomorsatukan kebahagiaan, tapi menomorsatukan kebenaran dari hal-hal yang dia jalani.
Lelaki tua ini memiliki renungan hidup yang mempesona. Pandangan hidupnya mengisi kembali energi-energi pembangkit dalam jiwaku. Dia merupakan gambaran sosok tegar dalam menjalani hidup, mengarungi hidup yang semakin sulit dengan keyakinan dan kekuatan hati yang sekokoh karang.
Kumandang adzan maghrib menyelesaikan pembelajaranku hari ini. Pembelajaran moral dari seorang Lelaki tua sebagai bekal dalam menjalani hidup.
Di bawah langit senja, di halte yang sudah usang, aku menemukan sisi lain kehidupan dari kacamata berbeda yang membuatnya lebih berharga.

Lelaki Tua di Halte Usang

by on November 14, 2008
Dari balik jendela kamarku, ku tatap lekat sosok lelaki itu. Sudah beberapa hari ini, setiap sore, ku lihat dia duduk di halte depan rumah k...
Masih lekat kedua mata ini menatap sosok di depan cermin Ku perhatikan tiap bagian di tubuh ini. Lemah, tak berdaya, dan terlalu terbebani dengan jutaan pikiran yang terus memaksa masuk dalam diri ini, memaksa otakku untuk terus berputar melihat dan merasakan semuanya.
Ku perhatikan diriku dari ujung kepala hingga ujung kaki. Semuanya terlalu berharga untuk ku jadikan sebagai korban dari luapan emosiku.
Rambut indah yang terurai panjang yang selama ini menjadi mahkota kecantikan ku telah merekam begitu banyak memori di hidupku. Tumbuh perlahan sampai akhirnya dapat terurai hingga bawah bahu ku. Melihat begitu banyak keindahan di dalam nya, aku yakin rambut hitam ini tak pantas menjadi bahan luapan cela ku
Alis mataku. Banyak orang suka melihat alis mata ini. Tebal dan terlukis indah di atas kedua mataku. Terpikir lagi olehku, bahwa lukisan seindah ini terlalu sempurna untuk aku menerima cacian ku.
Kedua mata yang menyimpan banyak kenangan dan memori hidupku. Menjadi saksi semua yang pernah ku lihat di masa laluku dan kehidupan ku yang akan datang. Sebenarnya bukan mata yang terlalu indah yang membuat orang-orang mengagumi ku, tapi mata yang bisa membuatku mengagumi sosok-sosok yang hadir dan berlalu lalang di hidupku. Sebuah indera hebat yang membuat ku peka dan menyadarkan ku akan masa depan yang indah dan masa lalu buruk hidupku. Pengingat ku agar tak selalu memandang ke depan, tapi juga sejenak melihat ke belakang, menatap kenangan yang pernah ada sebagai cambuk dan pelajaran hidup yang berarti untukku.
Lagi-lagi, aku tak menemukan kesalahan di sini. Aku tak pantas menyalahkan sinar indah yang terpancar dari mata ini atas semua yang terjadi padaku.
Banyak orang yang menyukai bentuk hidungku. Mereka bilang hidungku mancung. Aku hanya tersenyum mendengarnya. Arti hidung bagiku bukan hanya sebagai penambah keindahan wajahku. Hidung ini yang menuntunku untuk mencium berbagai wewangian surga di dunia ini. Tanpa boleh terlena, di balik semua keindahan nya, aku tak ingin hidung ini mencium aroma neraka yang kini sering berkeliaran dan mampu merasuk hingga ke dalam jiwa seseorang. Tapi, aku rasa bukan. Penyebab semua kepenatan yang aku rasakan tak satupun aku temukan di sini. Terlalu bermakna jika aku harus terus mencari-cari kesalahan di sini.
Tajam. Begitu banyak orang yang tersakiti karena mulut ini. Begitu banyak air mata yang jatuh sia-sia karena omong kosong yang terkadang bebas keluar dari mulut ini. Ini adalah pedang ku. Siapapun bisa sakit karenanya. Tapi dibalik semua ketajamannya, mulut ini mengantarkan ku untuk dapat bebas mengutarakan apa isi hatiku. Kadang manis, walaupun banyak duri-duri tajam terselip di dalamnya.
Mungkin, aku bisa sedikit mengoreksi diri di bagian ini, meskipun sepertinya terlalu berharga jika harus dijadikan sasaran caci diri ini.
Banyak orang yang telah menyentuh tangan ini. Begitu banyak kasih sayang yang kurasakan lewat tangan ini. Genggaman erat seseorang pernah kurasakan lewat tangan ini. Dari tangan ini pula, aku dapat merasakan apa yang mereka rasakan ketika mereka genggam tangan ini. Jari-jari renggang ini, suatu saat akan ada yang mengisinya, sehingga jariku dapat tertutup rapat dengan genggaman seseorang yang suatu hari akan menemaniku menjalani hidup masa depan ku.
Masih belum ku temui juga penyebab penat ku. Tangan ini tidak bersalah.
Tubuh kecil, kurus, dan kering ini adalah bagian terpenting dalam diriku. Tangan halus, suci, dan penuh ketulusan pernah menggangkat tubuh kecil ini. Tubuh yang dulunya lemah, tak berdaya dan tak bisa bangun sendiri ini, kini telah berubah menjadi tubuh yang kokoh. Telah berubah menjadi tubuh yang kuat dan melindungi hatiku dari pukulan keras yang sewaktu-waktu dapat membuat air mata ini jatuh.
Kupandangi lagi tubuhku. Tak banyak yang berubah dari diriku. Seorang bayi kecil dan suci yang kini telah berubah menjadi sosok gadis dewasa yang harus kuat menghadpai terjangan.
Ku alihkan pandangan ke arah kulit ku. kulit coklat yang selama ini ku anggap sebelah mata. Aku kira aku takkan bisa secantik gadis-gadis muda di luar sana karena kulit ku yang gelap. Tapi sempitnya pikiran ku itu runtuh ketika aku mulai sadar, bahwa aku seorang gadis yang hitam manis. Ya..itu sedikit membamgun rasa percaya diri ku.
Mulai kulihat lagi tubuhku. Sepasang kaki yang telah membawa ku dalam menempuh hidup dan sebagai penuntun setia yang menemaniku. Kedua kaki yang kadang salah langkah dalam meniti jalur lurus yang telah terbentang di jalan hidupku, namun sangat berharga karena ini menjadi modal hidupku untuk berjalan maju menantang kerasnya hidup yang ku lalui.
Lebih lekat aku menatap bayangan diri di cermin itu. Apa yang salah? Tak ku temukan sumber penat ini di setiap bagian tubuh ku. Apa yang membuat aku jadi begini?
Sejenak aku diam, tanpa gaduh dan ciptakan sunyi. Ku pandangi lagi tubuhku yang kini telah terkulai lemas. Air mata itu masih terus menetes, tanpa aku tahu apa yang membuat nya terus menetes.
Dalam diam, tangan ku bergerak dan ku coba sentuh hati ini. Pelan, tapi ku dapat merasakan semua itu. Sampai akhirnya, ku temukan semuanya.
Hati. Ya..hati ini. Semuanya berasal dari hati ini. Hati yang terlalu ku paksakan untuk menanggung semua sendiri. Hati yang telah tertutup titik-titik noda yang sama sekali tak mampu di tembus sinar. Kenapa hatiku? Apa aku terlalu egois? Apa aku sama sekali tak pernah peduli pada keluhan hatiku sendiri?
Semua yang aku lakukan hanya menuruti keinginan ku tanpa peduli dengan semua masalah yang tersimpan di hati ini. Hati ku sudah terlalu penuh oleh tumpukan masalah di tiap sudutnya. Aku tak pernah peduli itu. Yang ku lakukan hanya lari dan coba menghindar dari semua itu tanpa ada niat untuk menyelesaikan dan menghilangkan tumpukan masalah dalam hati ini.
Aku yang salah. Aku tak boleh menyalahkan hati yang menyimpan semua penat ku ini. Aku yang sebenarnya berdosa karena membiarkan semua masalah sampah ini terus tertimbun di hatiku.
Aku masih di depan cermin, mencoba berbaring sambil memikirkan semua tentangku. Ini hidupku. Aku harus bisa temukan jalan keluar dari terowongan gelap yang membuat ku tak bisa tenang selama ini. Masalah-masalah yang selama ini menjadi penggemarku harus segera aku tuntaskan. Harus.
Cerita hidup yang telah tercipta untukku harus dapat ku mainkan sesempurna mungkin. Tanpa cela dan tanpa kesalahan. Pecahkan masalah dalam diam. Ikuti hati dan terus berkaca pada cermin. Mungkin, coba bersyukur dan jalani semua skenario ini dengan baik adalah jalan terbaikku untuk saat ini.

Aku..

by on November 14, 2008
Masih lekat kedua mata ini menatap sosok di depan cermin Ku perhatikan tiap bagian di tubuh ini. Lemah, tak berdaya, dan terlalu terbebani d...
aduu..aduu.. bingung niyy... hehe

My Blog List