Iya dan Tidak
Aku selalu bertanya, ‘apa kamu bohongi aku?’. Dan kamu selalu jawab ‘tidak’.
Sesungguhnya aku yakin bahwa jawabannya ‘iya’.
Di rintik hujan siang ini, aku menunggu kamu di depan gardu. Aku tunggu kamu. Kamu tak kunjung datang, padahal sudah hampir satu jam aku menunggu.
Akhirnya kamu datang. Kamu melihat ku dan aku menghampirimu. Kamu tak bicara banyak, singkat, jelas, tapi kurang padat. Intinya hanya untuk membela dirimu. Lagi, aku bertanya, ‘apa kamu bohongi aku?’, jawaban mu tetap setia pada kata ‘tidak’. Aku marah sambil memaksamu jujur dan berkata ‘iya’. Aku tahu kamu bohong. Tapi aku diam dan pura-pura tidak tahu. Selalu begitu. Dan aku tahu bahwa kamu tahu. Kamu tahu aku pura-pura tidak tahu. Tapi tetap, kamu masih berkata ‘tidak’.
Kita duduk bersama di puncak bukit. Duduk dan nikmati keadaan. Aku bicara padamu tentang banyak hal. Tentang lebah yang terbang bergerombol, tentang daun yang mulai gugur, tentang awan yang mulai bergulung, tentang semua yang kita alami, tentang semua yang kita rasakan, tentang aku, kamu, dan dia. Juga tentang burung elang yang tiba-tiba meliuk indah di depan kita. Burung itu berputar-putar. Terbang tak jelas arahnya. Kita berdua terpukau. Kamu tampak begitu kagum melihat gerakan indah burung itu. Tiba-tiba kamu marah. Kamu marah karena baterai kameramu habis, kamu tak bisa mengambil gambar indah itu. Seperti biasa, aku bertanya, ‘apa kamu marah?’. Dan kamu ucapkan lagi kata membosankan yang tak pernah lepas darimu, kamu jawab ‘tidak’. Kamu bohong lagi. Aku bisa rasakan benar kekesalanmu. Aku yang selama satu tahun ini menemani hatimu, sudah cukup mahir menangkap rasa dari ekspresi dan gerakmu. Kamu sebenarnya tak bisa menutupi apapun dariku. Tapi kamu terlalu menganggapku polos, lugu, dan bodoh. Kamu pikir, aku hanya anak kecil yang mengangguk dan kagum pada tiap dongengmu. Masalah kecil seperti ini saja, kamu tak mau jujur. Itulah kesalahan fatal buah dari sikap sepele mu padaku.
Untaian nada indah yang mengalun dari telepon genggam ku memecah suasana. Kita bernyanyi bersama. Kau ucapkan dengan jelas tiap lirik lagu itu.
“Aku memujimu hingga jauh. Terdengar syahdu ke angkasa. Rintihan hatiku memanggilmu. Dapatkah kau dengar, nyawa hidupku…”
Aku menikmati itu. Di lubang-lubang keraguanku padamu, aku cukup terhibur dengan kata-kata itu.
Aku mulai bicara serius. Membongkar tiap ragu ku padamu.
Dan seperti biasanya, kamu jawab ‘tidak’. Dan seperti biasa pula, aku yakin bahwa sesungguhnya adalah ‘iya’.
Kamu antarkan aku pulang, mengantarku sampai depan rumah seperti biasanya. Tapi, ada yang beda kali ini. Kamu tidak mengacak-acak rambut ku. Biasanya tidak begitu. Tapi sudahlah, kali ini aku sedang malas mendengarmu berkata ‘tidak’, lebih baik aku tak bertanya.
Aku buka friendster mu sebelum tidur. Secara tak sengaja, aku buka friendster mantan pacar mu. Dan tanpa di duga, itu menjadi awal retak nya aku. Ternyata, selama ini kamu sayang dia. Kamu tulis, dia yang bisa menjanjungmu, dan hanya dia satu-satunya orang yang ada untuk mu di saat kamu rapuh.
Ah. Sakit hati ini.
Pagi ini, kamu menjemputku. Kita duduk sambil minum teh di halaman rumahku. Aku bertanya padamu, ‘apa kamu bohongi aku?’. Tanpa berpikir sedikit pun, kamu bilang ‘tidak’. Aku bertanya lagi, ‘apa kamu bohongi aku?’. Dan lagi, kamu jawab tidak. Aku mengulang pertanyaan yang sama sekali lagi, dan kali ini kamu sedikit bergeming. Mungkin kamu baru sadar ini pertanyaan serius. Dengan muka merah dan bibir yang mendadak menjadi gagap, kau tetap keras kepala dan menjawab ‘tidak’.
Tiba-tiba seluruh isi rumah seperti menjadi hidup. Mereka tak terima dengan kebohongan mu. Terakhir kamu bilang ‘tidak’, seisi rumah dengan kencangnya dan penuh emosi, berteriak tanpa batas volume di telingamu, mengatakan ‘IYA’.
Kaupun malu. Tapi tetap saja, kau ringan menghadapiku. Kini aku sadar satu hal, kau sebenarnya tak tahu malu. Innocent. Dan aku tak suka itu.
Aku resapi semuanya. Ketika ‘iya’ dan ‘tidak’ menjadi sebuah dilema yang tak terpecahkan, bayang ilusi yang biasanya selalu tak mau tahu dan memilih untuk tak ikut bicara, akan memecahkan semuanya. Menghadirkan realita yang kita tak tahu sebab dan latar belakang nya.
Aku bertanya, ‘apa kamu bohongi aku?’, tapi kamu tetap menjawab ‘tidak’, walaupun realita, fakta, dan logika tak satupun ada yang berpihak pada pendapatmu.
Sesungguhnya aku yakin bahwa jawabannya ‘iya’.
Di rintik hujan siang ini, aku menunggu kamu di depan gardu. Aku tunggu kamu. Kamu tak kunjung datang, padahal sudah hampir satu jam aku menunggu.
Akhirnya kamu datang. Kamu melihat ku dan aku menghampirimu. Kamu tak bicara banyak, singkat, jelas, tapi kurang padat. Intinya hanya untuk membela dirimu. Lagi, aku bertanya, ‘apa kamu bohongi aku?’, jawaban mu tetap setia pada kata ‘tidak’. Aku marah sambil memaksamu jujur dan berkata ‘iya’. Aku tahu kamu bohong. Tapi aku diam dan pura-pura tidak tahu. Selalu begitu. Dan aku tahu bahwa kamu tahu. Kamu tahu aku pura-pura tidak tahu. Tapi tetap, kamu masih berkata ‘tidak’.
Kita duduk bersama di puncak bukit. Duduk dan nikmati keadaan. Aku bicara padamu tentang banyak hal. Tentang lebah yang terbang bergerombol, tentang daun yang mulai gugur, tentang awan yang mulai bergulung, tentang semua yang kita alami, tentang semua yang kita rasakan, tentang aku, kamu, dan dia. Juga tentang burung elang yang tiba-tiba meliuk indah di depan kita. Burung itu berputar-putar. Terbang tak jelas arahnya. Kita berdua terpukau. Kamu tampak begitu kagum melihat gerakan indah burung itu. Tiba-tiba kamu marah. Kamu marah karena baterai kameramu habis, kamu tak bisa mengambil gambar indah itu. Seperti biasa, aku bertanya, ‘apa kamu marah?’. Dan kamu ucapkan lagi kata membosankan yang tak pernah lepas darimu, kamu jawab ‘tidak’. Kamu bohong lagi. Aku bisa rasakan benar kekesalanmu. Aku yang selama satu tahun ini menemani hatimu, sudah cukup mahir menangkap rasa dari ekspresi dan gerakmu. Kamu sebenarnya tak bisa menutupi apapun dariku. Tapi kamu terlalu menganggapku polos, lugu, dan bodoh. Kamu pikir, aku hanya anak kecil yang mengangguk dan kagum pada tiap dongengmu. Masalah kecil seperti ini saja, kamu tak mau jujur. Itulah kesalahan fatal buah dari sikap sepele mu padaku.
Untaian nada indah yang mengalun dari telepon genggam ku memecah suasana. Kita bernyanyi bersama. Kau ucapkan dengan jelas tiap lirik lagu itu.
“Aku memujimu hingga jauh. Terdengar syahdu ke angkasa. Rintihan hatiku memanggilmu. Dapatkah kau dengar, nyawa hidupku…”
Aku menikmati itu. Di lubang-lubang keraguanku padamu, aku cukup terhibur dengan kata-kata itu.
Aku mulai bicara serius. Membongkar tiap ragu ku padamu.
Dan seperti biasanya, kamu jawab ‘tidak’. Dan seperti biasa pula, aku yakin bahwa sesungguhnya adalah ‘iya’.
Kamu antarkan aku pulang, mengantarku sampai depan rumah seperti biasanya. Tapi, ada yang beda kali ini. Kamu tidak mengacak-acak rambut ku. Biasanya tidak begitu. Tapi sudahlah, kali ini aku sedang malas mendengarmu berkata ‘tidak’, lebih baik aku tak bertanya.
Aku buka friendster mu sebelum tidur. Secara tak sengaja, aku buka friendster mantan pacar mu. Dan tanpa di duga, itu menjadi awal retak nya aku. Ternyata, selama ini kamu sayang dia. Kamu tulis, dia yang bisa menjanjungmu, dan hanya dia satu-satunya orang yang ada untuk mu di saat kamu rapuh.
Ah. Sakit hati ini.
Pagi ini, kamu menjemputku. Kita duduk sambil minum teh di halaman rumahku. Aku bertanya padamu, ‘apa kamu bohongi aku?’. Tanpa berpikir sedikit pun, kamu bilang ‘tidak’. Aku bertanya lagi, ‘apa kamu bohongi aku?’. Dan lagi, kamu jawab tidak. Aku mengulang pertanyaan yang sama sekali lagi, dan kali ini kamu sedikit bergeming. Mungkin kamu baru sadar ini pertanyaan serius. Dengan muka merah dan bibir yang mendadak menjadi gagap, kau tetap keras kepala dan menjawab ‘tidak’.
Tiba-tiba seluruh isi rumah seperti menjadi hidup. Mereka tak terima dengan kebohongan mu. Terakhir kamu bilang ‘tidak’, seisi rumah dengan kencangnya dan penuh emosi, berteriak tanpa batas volume di telingamu, mengatakan ‘IYA’.
Kaupun malu. Tapi tetap saja, kau ringan menghadapiku. Kini aku sadar satu hal, kau sebenarnya tak tahu malu. Innocent. Dan aku tak suka itu.
Aku resapi semuanya. Ketika ‘iya’ dan ‘tidak’ menjadi sebuah dilema yang tak terpecahkan, bayang ilusi yang biasanya selalu tak mau tahu dan memilih untuk tak ikut bicara, akan memecahkan semuanya. Menghadirkan realita yang kita tak tahu sebab dan latar belakang nya.
Aku bertanya, ‘apa kamu bohongi aku?’, tapi kamu tetap menjawab ‘tidak’, walaupun realita, fakta, dan logika tak satupun ada yang berpihak pada pendapatmu.
No comments:
Post a Comment
Hello there, question/comment/suggestion/feedback are welcomed. Please feel free to get in touch with me through my instagram/twitter/email account ;)