Flores Trip, Wae Rebo - Labuan Bajo
Sebelum masa kerja keganggu
karena utang cerita Flores, saya bakal cerita panjang soal Flores trip
yang nagih nagih nagih untuk diulang.
So here we go!
Saya sudah pulang, tapi hati ketinggalan.
Rencana jalan baru dibuat
di awal Desember 2016; setelah tek tok super panjang soal jadwal cuti dan
liburan keluarga yang nggak berujung di titik temu, akhirnya saya dan adik
semata wayang, Ihan, ambil sikap untuk jalan berdua. Percayalah, butuh
berlarut-larut untuk beresin perkara perizinan.
Disana ada apa?
Transportasinya gimana?
Kalo nyasar gimana?
Cuma berdua, kalo ditipu orang gimana?
Kalo ada orang jahat gimana?
Ya jawabnya
sambil mikir dan super hati-hati.
Gimana pun
ridho orang tua adalah jalan menuju segalanya kan, sepakat?
Modal
baca trip review dan google map, itinerary dibuat dengan tujuan utama Wae Rebo
dan sailing trip di Labuan Bajo.
Dec 2016
|
Event
|
25
|
Jakarta - Labuan Bajo - Ruteng
|
26
|
Ruteng - Denge - Wae Rebo
|
27
|
Wae Rebo - Denge - Ruteng - Labuan
Bajo
|
28
|
Pulau Padar - Pink Beach - Pulau
Komodo
|
29
|
Gili Laba/Lawa - Pasir Timbul - Manta
Point/Taka Makasar
|
30
|
Pulau Rinca - Pulau Kelor -
Kanawa/Pulau Sembilan - Pulau Bidadari
|
31
|
Labuan Bajo - Bandung
|
Bikin itinerarynya
super excited!
Yak udeh tuh, langsung cari
tiket, hotel, cari tau transportasi, plus cari kapal buat sailing trip.
Karena cuma punya waktu
libur panjang pas high season, mamam deh tuh tiket pesawat harga selangit. Pedih.
Keberangkatan dari Jakarta,
transit Denpasar, landing Labuan Bajo berjalan manis sampe kita dihadapkan
dengan masalah pertama; carrier Ihan ketinggalan di Denpasar! Most of passenger
baggage yang berangkat dari Jakarta ketinggalan di Denpasar dan pesawat
selanjutnya baru akan berangkat dari Denpasar ke Labuan Bajo jam 2 siang, yang
artinya baru akan tiba di Labuan Bajo jam 3 sore. Mau tepuk tangan tapi
sendirian; mau cari tempat senderan, bahu Kamu nggak ada. Aduh.
Lewat segala perdebatan dan
ngambek-ngambek, akhirnya saya dan Ihan mutusin untuk langsung jalan ke Ruteng di
jam 12 siang. Karena kedatangan kita bertepatan sama Hari Natal, travel ke Ruteng hari itu jumlahnya nggak banyak dan kalau kita nunggu sampai
bagasi dateng, nggak ada jaminan jam 3 atau 4 sore nanti masih ada travel
menuju Ruteng. Dengan bekal janji pihak maskapai yang bersedia anterin bagasi
ke hotel tempat menginap di Ruteng, saya dan Ihan masuk mobil travel dan menuju
Ruteng.
Tau dong rasanya jalan berbekal janji dan ketidakpastian?
Di dalam travel menuju Ruteng
Muka Rambo, Hati Rinto.
Emang udah paling bener,
jangan nilai orang dari penampakannya.
Badan besar – tatoan –
hitam – rahang kotak; senyumin aja, balesan senyum dan perilakunya berkali
lipat lebih manis dari senyumku buat Kamu. Ya gitu.
Super setuju, orang Flores
ramah dan baik hati.
Perjalanan dari Labuan Bajo
sampai Ruteng sekitar 4 – 5 jam. Sepanjang perjalanan kamu nggak bakal kesepian
karena akan banyak ngobrol dengan orang-orang entah siapapun yang bersama dalam
travel dan volume musik yang nggak nyantai.
Janji nggak tinggal janji, carrier Ihan sampai di hotel jam 11 malam.
Lega.
Perjalanan Ruteng ke Denge, pos terakhir sebelum naik ke Wae
Rebo, kurang lebih 4 – 5 jam dengan oto kayu, kendaraan truk yang khusus angkut
penumpang, atau 3 jam dengan motor. Rencana awal, kita mau naik oto kayu sampai
Denge, tapi Pak Blasius (contact person di pusat informasi Wae Rebo) bilang karena
sore biasanya hujan, maksimum naik ke Wae Rebo dari pos terakhir Denge adalah
jam 2 siang.
FYI, oto kayu berangkat
dari Terminal Mena Ruteng sekitar jam 10 – 11 pagi, itupun kalau ketemu. Karena
nggak berani gambling, akhirnya kita sewa motor dari hotel dan dibekali dengan
peta kertas keramat menuju Wae Rebo.
Eh boong deng, nggak keramat.
Jangan bayangin peta itu
akan bawa kamu sampai Wae Rebo, “Mbak ikuti jalan ini (nunjuk jalan di peta),
cari kampung ke-4 namanya Golo Cala, dari sana tanya orang jalan menuju Denge”.
Hahaha, oke deh siapa takut.
Nggak usah ngerasa hebat
bisa kemanapun pakai Waze atau Google Map; teknologi canggih hanya berlaku
di kota besarmu, nggak disini. But no worries, selalu ada alternatif teknologi
yang bisa diandalkan; tanya!
Jangan bayangin jalan
dengan petunjuk arah atau jalan yang keliatan pantas sebagai jalan penghubung
desa; tekniknya adalah tiap ketemu belokan, jalan cabang, atau persimpangan,
tengok sekitar, tanya!
Overall, jalanannya adalah
begini: naik gunung – turun gunung – ketemu persawahan – nyusurin jalan di
pinggir pantai – naik gunung.
3 jam perjalanan dari
Ruteng dan sampailah kita di Denge.
Ketemu Pak Blasius di Denge
Homestay, istirahat sebentar, dan langsung naik.
Umumnya perjalanan naik dari
Denge ke Wae Rebo sekitar 4 jam; di waktu itu saya, Ihan, dan Kak Robert
(guide) berhasil sampai dalam 2.5 jam. Not bad ya.
Jadi gini, pos 1 sampai pos 2: kejutan. Naik terus, jarang bonus.
Pos 2 sampai pos 3: naik
curam di awal, selanjutnya banyak bonus; datar cenderung turun.
Pos 3 sampai Wae Rebo;
trek turun.
Di Pos 3, Kak Robert pukul
kentongan yang katanya untuk kasih tau orang Wae Rebo bahwa ada tamu yang
sebentar lagi sampai.
Kak Robert; cita-cita jadi Guru Geografi
Rasanya kayak mimpi. Pemandangan yang selama ini dipuja-puja lewat gambar trus beneran ada di depan mata!
Tamu yang datang nggak
boleh ambil foto sebelum lewat prosesi adat penyambutan tamu. Prosesi adat buat penyambutan tamu
dilakuin di Mbaru Niang (rumah adat bentuk kerucut di Wae Rebo) paling besar.
Tetua disana bakal bicara dalam bahasa Manggarai yang tujuannya untuk kasih tau
leluhur bahwa ada kita, orang asing, sebagai tamu disana. Beres prosesi ini
baru deh bebas main dan foto-foto, plus kita bakal di bawa Ke Mbaru Niang yang
dikhususkan untuk tamu.
Belum lama duduk-duduk dan
ngobrol sama Kak Marcell tiba-tiba hujan deras. Sampai malam.
Tidur, tidur apa yang
paling enak?
Tidur waktu hujan.
Jadi deh kita bobo cepet.
Tidur di Mbaru Niang
Sekitar jam 3 pagi, dengan
tekad ala ibu-ibu waktu midnight sale, saya keluar Mbaru Niang; maksud hati
lihat milky way, apa daya bintangnya sedikit.
Yang didapet cuma dingin. Lain
kali balik kesana, saya mau bawa yang bikin anget. Eeem.
Di kasih pagi cerah itu super bonus!
Nggak berhenti memuji
Tuhan; sempurna.
Setelah main-main dan
sarapan pagi, kita siap-siap dan pamit turun.
Secekrekan; ketemu mama-mama
tumbuk kopi.
Hal tergila yang saya
temuin adalah mereka bisa hidup dengan begitu adanya, tanpa gadget, tanpa tv,
tanpa internet, tanpa banyak pengen ini itu, dengan segala keterbatasan, tapi keliatan bahagia.
Sumber listrik di Wae Rebo
hanya genset, start jam 6 sore sampai 10 – 11 malam. Setelah itu semua
gelap-gelapan.
Untuk belanja kebutuhan
sehari-hari, mama-mama Wae Rebo harus naik turun gunung sambil bawa belanjaan kayak
beras, ayam, tempat makanan, dan sebagainya.
2 sampai 3 kali saya
papasan dengan mama-mama di jalur tracking. Mereka lewat di jalur nanjak sambil
panggul karung beras di atas kepala, beberapa ada juga yang sambil bawa
belanjaan lain. Dan jalannya cepet. Dan mukanya flat. Saya duduk aja
ngos-ngosan. Duh, nak.
Betapa kita harus banyak
bersyukur.
Ya boleh sih ngeluh, tapi
jangan kasih kendor.
Sampai di Denge langsung
mandi, beres-beres, dan pamit sama Pak Blasius.
Setelah 2.5 jam perjalanan,
saya dan Ihan sampe di Hotel Rima Ruteng untuk balikin motor.
Semalam sebelumnya saya minta
tolong untuk dicariin travel ke Labuan Bajo dan dengan baik hati orang hotel
bantuin. Sejam setelah sampe hotel langsung jalan lagi menuju Labuan Bajo.
Setumpukan sama barang
Kira-kira sampai hotel di
Labuan Bajo jam 9 malam.
Karena super cape, tanpa
cuci muka atau apapun, saya dan Ihan bobo.
Halo Labuan Bajo!
Sekitar jam 6 pagi, kita ketemuan sama Pak Ibrahim.
Sempat liat foto dan baca
profilnya di beberapa trip review, dan bener banget, beliau super ramah dan baik hati.
Pak Ibrahim
Walau nggak sekolah dan
untuk baca aja sulit, buat saya beliau cerdas.
Disaat banyak orang hebat
di kota yang kesulitan urus anaknya, anak pertama Pak Ibrahim sudah S2, anak
kedua sudah sarjana, dan anak ketiga masih sekolah.
Nggak usah tanya kesigapan
dan service Pak Ibrahim untuk tamunya; juara!
Beliau juga ikut turun jagain waktu keliling Pulau Komodo dan Rinca karena saya mendadak datang bulang
tepat di rumahnya komodo. Kan serem. Kan kezel.
Selama 3 hari 2 malam
sailing trip, saya dan Ihan nggak bermalam di kapal (live on board) tapi
dikasih penginapan di rumah warga di Kampung Komodo. Daaaan, jendela kamar kita
langsung menghadap ke laut! Wuhuuuh!
Kita jalan berdasarkan
itinerary yang diadjust sama Pak
Ibrahim.
Jangan bayangin perjalanan dari satu pulau ke pulau lain itu deket; jauh, makanya kangen. Eh gimana?
Jangan bayangin perjalanan dari satu pulau ke pulau lain itu deket; jauh, makanya kangen. Eh gimana?
Paling cepet setengah jam
dan paling lama 3 jam.
Tapi tergantung kapal yang
dipakai juga. Karena kapal Pak Ibrahim adalah kapal nelayan biasa, waktu
tempuhnya lebih lama dari kapal modern yang banyak juga dipakai berlayar sama
wisatawan.
Saya sama Ihan malah bisa
tidur selama perjalanan.
Dari sekian banyak tempat yang
didatengin saat sailing trip, Padar jadi juaranya tapi Gili Laba/Lawa diem-diem
nyuri hati saya.
Padar
Gili Laba/Lawa
Entah kenapa selama sailing
trip makanan yang disajiin buat kita rasanya selalu enak. Nggak ngerti, nggak
mau cari tau juga, pokoknya enak. Di malam terakhir menginap, saya sama Ihan
diajak bakar ikan, sumpah ikan bakarnya enak banget, terus didongengin legenda
Pulau Komodo sampai jam 10 malam, itupun karena saya potong, “Pak, boleh saya
tidur? Saya ngantuk”.
Penginapan warna hijau di Kampung Komodo
Hari terakhir sailing trip
adalah yang paling berat.
Kenyataan bahwa besok
semuanya bakal balik seperti semula adalah kenyataan yang nggak pernah siap
saya hadapi, bahkan sampai hari ini saat semuanya udah lewat.
Makan malam terakhir kita
di Labuan Bajo adalah di pusat kuliner Kampung Ujung.
Itu gilak ya, seafoodnya
bikin pikiran jadi nggak rasional.
Satu hal, selama di Flores hanya ada 1 merek air mineral yang saya liat beredar,
Air Mineral Ruteng
coba deh keliling cari air mineral, dapetnya Ruteng.
****
Nagih.
Pas balik beneran pengen
nangis.
Kenapa kemaren nggak berlama-lama
puasin bengong di Padar, di Gili Laba/Lawa, disetiap tempat di Wae Rebo, Labuan
Bajo?
Kenapa gampang banget nyerah
sama panas terik matahari, sama bukit-bukit curam yang bikin dahi ngernyit
sebelum naik?
Kenapa semudah itu ngalah
sama keringet di dalem baju, sama lengketnya badan karena air laut?
Ini beneran sih, semuanya
kerasa kurang dan pengen lebih.
Saya bukan typical orang
yang suka mengulang sesuatu.
Tapi kalaupun terjadi; saya
pakai hati.
Dan Labuan Bajo, saya mau
kembali berkali-kali.
Flores, checked.
Sumba, yuk!
****
Wae Rebo: Blasius Monta (0813 3935 0775)
Sailing Trip Labuan Bajo: Ibrahim (0853 3709 9662)
Hi Mbak,tanya dong untuk travel labuan bajo ke ruteng dan sebaliknya itu apakah mudah?berapa biayanya? Lalu dari riteng ke denge jauh kah?
ReplyDeleteHalo Mbak Titi,
ReplyDeletesorry for the late reply. feel free to reach me by ig/twitter for fast reply ;)
Kalau dari Bandara Komodo, travel Labuan Bajo ke Ruteng gampang banget didapat. Ada banyak banget yang nawarin di pintu kedatangan Bandara. Waktu Des 2016 lalu, ongkos travel Labuan Bajo - Ruteng (dan sebaliknya) Rp 150 ribu. Kalau merasa kemalahan, coba diajak ngobrol aja.
Untuk travel dari Ruteng ke Labuan Bajo bisa minta bantuan ke staff penginapan, biasanya mereka punya contact orang travel ke Labuan Bajo dan bisa minta dijemput di penginapan. Jangan lupa tanya jam keberangkatan travelnya ya.
Ruteng ke Dengen jaaaaauuuuuhh.
Hahaha, saya sewa motor dari Hotel Rima Ruteng. Rp 150 ribu per hari, tidak termasuk bensin. Naik motor Ruteng - Denge kira-kira 3jam-an, udah termasuk nyasar dan nanya-nanya. Bisa juga pakai oto kayu dari Ruteng, tapi paling pagi jam 10 kalau nggak salah, dan waktu tempuhnya bisa sampai 5 jam.
Halo mbak, kalo harga sewa kapal pak ibrahim berapa ya?
ReplyDeleteHai, Mbak. Di Des 2016 lalu 4.5 jt, 3 hari 2 malam untuk 2 orang. Harga itu sudah include semua: boat, penginapan di rumah warga, dan makan juga. Untuk dapat harga update, langsung telp Pak Ibrahim ya 0853 3709 9662, baik deh orangnya :) FYI, kalau sms kemungkinan besar nggak dibalas karena beliau agak sulit baca tulis.
DeleteOkay terimakasih mbak infonya
ReplyDeleteHi,
ReplyDeleteI would like to ask about your 3 days 2 nights sailing with Pak ibrahim? How's the condition of the ship? Is it comfortable to sleep at night? how was the overall prices and what was your full itinerary?
Gavin, Malaysia
Hello! I wasn’t stay in the ship. He gave me room in a local house in Kampung Komodo. The price (in Dec 2016) was 4.5 mio IDR for 2 people, for 3 days 2 nights long, included the ship of course, breakfast – lunch – dinner, and the room. On the 1st day he took me to Padar Island, Pink Beach, and Komodo Island. Second day to Gili Laba (also known as Gili Lawa), Pasir Timbul, and Manta Point (or Taka Makasar). And the last day to Rinca Island, Kelor Island, Kanawa Island, and around Bidadari Island. Are you coming soon to Labuan Bajo? Just call Pak Ibrahim, he's so kind and good at driving ships even though it seems to me his ship is just ok.
DeleteSebelumnya terima kasih sudah memberikan ulasan sedikit tentang Pak Ibrahim, kebetulan saya Anak pertama pak Ibrahim. Terima kasih telah membantu mempromosikan usaha bapak saya. Tapi mengenai nomor teleponnya, pak Ibrahim sudah ganti nomor telepon krn nomor yang 662 itu sudah terblokir. nomor telepon yang baru 085238463734🙏🏻
ReplyDeleteSebelumnya terima kasih sudah memberikan ulasan sedikit tentang Pak Ibrahim, kebetulan saya Anak pertama pak Ibrahim. Terima kasih telah membantu mempromosikan usaha bapak saya. Tapi mengenai nomor teleponnya, pak Ibrahim sudah ganti nomor telepon krn nomor yang 662 itu sudah terblokir. nomor telepon yang baru 085238463734����
ReplyDeleteHalo! Terima kasih updatenya, semoga bermanfaat untuk yang cari kapal Pak Ibrahim di Labuan Bajo. Semoga Pak Ibrahim dan keluarga dalam keadaan sehat, ya! :)
Delete