Nggak pernah
sengaja ingin nulis review, dan memang bukan, tapi yang ini rasanya beda.
Gemuruhnya perlu dilampiaskan supaya nggak berlarut-larut ganggu pikiran.
Dengar album ini
rasanya lagi puk-puk diri sendiri. Macam orang kena pukul, duh sakit, eh tapi
baik-baik aja. Eh, kena pukul lagi. Sakit juga ya. Tapi masih bisa berdiri kok,
masih bisa lari, even masih mampu ngerjain lemburan agar besok bos happy, yok
bisa yok. Eh, dipukul lagi. Yaudah, “Tolong ya, Tuhan, bikin aku baik-baik
aja.”
***
Lihat langit di balik jendela bening yang jadi arena juang belasan jam
tiap hariku~
Tulus - Kelana
Salah satu pertanyaan
paling random dari Instagram yang pernah aku temukan; juga paling ingin dijawab
secara panjang lebar tapi cape:
“Hal terberani
yang kamu pernah lakukan dalam hidup?”
Well, resign! Salah
satu diantaranya.
Kerja misuh,
nggak kerja, rindu.
Baru sadar kalau
ternyata, buat saya, punya karir bukan sekedar untuk kasih makan perut, tapi
kasih makan ego, jiwa, sama otak juga.
Karena hidup
selalu dihadapkan oleh pilihan-pilihan.
Takut ambil
pilihan juga bikin masalah baru nggak sih?
Jarang-jarang, tapi
yaudah gas aja.
Aku rasakan, yakinmu dilawan ragu.
Tapi sampai kapan kamu menahan-nahan, bila pergi itu solusi.
Tuk kejar mimpimu, kejar perlumu, kejar maumu.
Tulus – Remedi
***
Omong-omong,
lagu juara satu-ku di album ini adalah Interaksi.
Rasanya kayak,
“Asal aku bisa tetap dapat koin isi ulang untuk melanjutkan bucin bodohku,
yaudah sini mana sakit-sakitnya aku terima sini.”
Kondisi di mana
udah tau sakit tapi ya masih dicobain.
Entah ini ingin, entah ini sayang.
Si hati rapuh tantang wahana.
Tulus –
Interaksi
Dear Mas Tulus,
aku baca banget pesan yang sesungguhnya berbunyi paling lantang dan penuh yakin
di antara kerendahan hati yang sengaja dibuat untuk sembunyi dalam lagu Interaksi,
“Atau mendekatlah.”
Di album ini
rasanya Tulus manusia banget.
Emang orang jatuh
cinta adalah manusia paling juara di muka bumi dan seluruh galaksi.
Dalam kondisi
nyaris nggak bisa menyelamatkan diri sendiri pun masih bisa bilang,
“Ini semua bukan salahmu, punya magis perekat
yang sekuat itu.”
Tulus – Jatuh
Suka
Tapi aduh Mas Tulus,
please.
“Maafkan, aku
jatuh suka.”
Jadi selama ini,
cuma suka? Belum cinta?
Padahal diantara,
“Detik-detik terus menitik.
Garis rindu menuju kamu.”
Tulus – Ingkar
Aku sudah merasa,
“Beginikah surga?”
Yuk bangun.
Ada kenyataan
yang nunggu dibukain pintu.
“Kukira kita akan bersama, begitu banyak yang
sama, latarmu dan latarku.
Kukira tak kan ada kendala. Kukira ini kan mudah, kau aku jadi kita.”
Tulus –
Hati-Hati di Jalan
Yuk sini kita
ngobrol sambil ngopi, Mas Tulus, hahahaha.
Justru yang
paling mengkhawatirkan adalah ketemu kenyataan bahwa kita begitu sama. Kalau
kamu kira takkan ada kendala, aku menemuinya sebagai muara dari segala perkara,
yang membuat ‘kau aku nggak pernah menjadi kita’.
Dua bentuk yang
sama nggak akan pernah bisa membuat puzzle jadi sempurna, nggak sih?
Sampai di sini apakah
wangi indomie di surga masih terasa?
***
Buat saya, summary
album ini adalah dinaikin, dijatuhin, dinaikin lagi, jatuh sampe bonyok, lalu
disuruh ikhlas dan baik-baik saja. Yaduh Mas Tulus, kamu loh.
“Hari ini kau berdamai dengan dirimu sendiri.
Kau maafkan semua salahmu ampuni dirimu.”
Tulus – Diri.
Dan album ini
ditutup dengan pernyataan paling ikhlas, paling bijaksana, dan melegakan lewat,
“Hiduplah kini.”
Terima kasih
jalan-jalannya, Tulus.
Diantaranya
panjangnya panas dingin dan sakit sembuh, aku jatuh cinta lagi.