Denting piano, kala jemari menari
Nada merambat pelan
Di kesunyian malam saat datang rintik hujan
Sarapan pagi di Punclut
bersama Ibu; selain banyak drama, banyak juga belajar.
Oya, Punclut banyak
berubah. Lahan kosong untuk sekedar duduk sambil liat city view nggak lagi ada; ada sih, tapi nggak lagi semenarik dulu. Sayang saya nggak sempat
ambil gambar, keburu drama sama Ibu dan nggak mungkin lagi balik untuk sekedar
foto.
Ya mungkin banyak drama
karena sama-sama laper. Mampir warung nasi timbel dan nemu sayur genjer enak
banget.
Bersama sebuah bayang
Yang pernah terlupakan
Suasana mulai cair setelah
perut ada isinya.
Jalan balik ke mobil yang
di parkir nun jauh di Dr. M. Salamun banyak tersendat karena Ibu sering
‘nyangkut’ di kanan kiri. Punclut di minggu pagi adalah muara dari orang
olahraga dan orang belanja.
Layaknya pasar minggu pada
umumnya, kanan kiri jalan penuh sama dagangan, mulai dari sayur, baju,
tanaman, sampe agen perjalanan umroh & haji; tempat-tempat yang sebenarnya
sebisa mungkin saya hindari karena nggak tahan sama crowd-nya.
Emang kali sayur genjer
bisa banget bantu bikin otak berpikir sehat.
Kalau nggak dinikmati, mau
apalagi? Setelah seperempat perjalanan saya habiskan dengan muka kelipet, akhirnya
saya start over dengan muka dan perilaku baik-baik.
Hati kecil berbisik untuk kembali padanya
Sribu kata menggoda
Sribu sesal di depan mata
Seperti menjelma
Waktu aku tertawa, kala memberimu dosa
Lagi. Aduh.
Saya kayak nggak bisa cari
topik selain bersyukur.
Beli seikat besar daun
singkong harga 2,500, ditawar Ibu jadi 2,000. Sedih sih.
Ibu pemegang teguh prinsip
‘nggak bakal dijual sama pedagangnya kalo dia rugi’; walaupun di banyak sisi,
Ibu seringkali beli sesuatu hanya karena pedangannya sudah tua atau dagangannya
kelihatan nggak laku-laku.
Beli 1 lot (apadeh
satuannya) peniti kecil, isi 12, dengan harga 1,000; dimana kalo beli di Mall
harganya 10,000 untuk kira-kira isi 20an.
Sadar nggak sadar sih,
kita, eh saya, sering ngegampangin
hal-hal semacam itu; ‘udalah, berapa
sih’, yang bagi orang lain bisa jadi sama sekali nggak ‘udalah’.
Jual peniti 1,000,
untungnya berapa rupiah?
Jual sayur 2,000, cape
ngurusnya sampe panen berapa rupiah? Upah kepanasannya berapa rupiah?
Disisi lain, kita bisa
kira-kira sendiri berapa besar biaya anak sekolah, beli makanan setiap hari
buat 1 keluarga, bayar listrik – bayar kontrakan, apalagi kalo sakit, atau anaknya
minta beli mainan karena liat temen-temennya punya.
Okay, nggak masuk akal.
But they do exist. They
live, deal with it.
Oh, maafkanlah
Sebelum mulai nyanyi lagu
Iwan Fals, ada pengamen yang cukup sopan nyodorin amplop putih disetiap
kumpulan orang yang sedang makan lesehan. ‘Saya ngamen untuk biaya anak
sekolah’, kira-kira poinnya begitu, ditulis di bagian depan amplop.
Sepenuhnya karena Dialah
otak saya berangsur sehat dan tulisan ini muncul.
Rasa sesal di dasar hati diam tak mau pergi
Haruskah aku lari dari kenyataan ini
Kecilmu mungkin adalah
seluruh yang mereka butuh.
Jangan lupa zakat dan sedekah.
Pernah ku mencoba tuk sembunyi, namun senyummu tetap mengikuti